Hikmah dan Keutamaan dalam Berpuasa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيم
ٍ
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Oleh. الفاضل الأستاذ محمد نجيب
1.
Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum
merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat
tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang disebutkan
oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala menjelaskan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة:
١٨٣
”Wahai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya
:
1.
Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju
taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah
shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta’ala, baik berupa minuman,
makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan sejenisnya yang
disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah Ta’ala dengan mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2.
Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa
diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa
nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya pengawasan
Allah Ta’ala terhadap dirinya.
3.
Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam
tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4.
Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin
terjauhkan dari kemaksiatan.
5.
Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak ketaatan
dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala
6.
Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka
akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan
bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. ([3])
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki beberapa hikmah
dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya perasaan di
tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat yang satu, makan dan
bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh
Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah
ash-shaum, di antaranya :
1.
Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai
nikmat-Nya.
2.
Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan
untuk istirahat.
———————————–
[1]
Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya
Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan
tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Agar kalian
bertaqwa”
Begitu
pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan
penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah
berfirman :
لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ “Agar
mereka bertaqwa”
[2]
Dari Shafiyyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam
bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“Sesungguhnya
Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.” [HR.
Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3]
Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4]
Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula
Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5]
Taudhihul Ahkam (3/123)
2.
Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara
Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits,
baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara
khusus. Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya :
1.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ –
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ
تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ
مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
[متفق عليه]
“Ash-Shiyam
adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak
berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka
katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum
daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan
syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya
(ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya
sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam
hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a.
Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat
‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar
(api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي
الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ
أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari
Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau
hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku
sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku
telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum
adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari
kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam
hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ
النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya
shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari
(adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b.
Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah
dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c.
Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara
langsung oleh Allah sendiri.
[lihat
ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2.
Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits
dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ
يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ،
يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
“Sesungguhnya
di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada
Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk
seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang
yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang
akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua,
maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.”
[Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam
riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
)) [رواه النسائي و أحمد]
“Barangsiapa
yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka
pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])
3.
Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits
dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ
بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
“Tidaklah
seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan
wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.”
[Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian
‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam
Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad
was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي
سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam
An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا
ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ (Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi
yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga
atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi
yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun
Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah :
ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa
yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan
tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas
memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits
berikut ini. [9])
4.
Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits
dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara
dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan
bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5.
Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits
dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ
جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi
‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah
: Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh
perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini
memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk
menjawabnya, ada dua jawaban :
a.
Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam
rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana
disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
–
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan
bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa
sangat jauhnya.”
Kemudian
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر
والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم (
مائة عام ).
“Memperkuat
pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari
shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari
shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin
Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“.
[12])
Jawaban
senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa
penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan
mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut.
[13])
b.
Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala
bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi
seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban
kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan
An-Nasa`i. [14])
Terkait
dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun
secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
–
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى،
بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ
طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah
jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak,
semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ”
[Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
–
Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ
عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد
الرزاق و الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda
tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
—————————
[1]
Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang
jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari
Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2]
Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3]
An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa`i no. 2231.
[4]
HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no.
4308.
[5]
Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan
bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak,
sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar
yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil
I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6]
Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7]
An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8]
Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9]
Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10]
At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.
563.
[11]
An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Ash-Shahihah no. 2565.
[12]
Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13]
Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14]
Ibid.
[15]
Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang
lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya :
mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits
ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16]
Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no.
2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17]
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul
Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata
tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas.
Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang
semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan
Al-Mutharrih.”
Dalam
kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi
Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian
tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun
berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun
tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh
karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan
hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata
: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam
sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat
Adh-Dha’ifah no. 6910).
3.
Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6.
Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari
dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ
تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
“Dosa
yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau
tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun
‘alaihi] ([1])
7.
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ
بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
“Bagi
orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira
dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan
(pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8.
Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
“Barangsiapa
yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya
shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi]
([3])
Dari
hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum
berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus
sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan
pernikahan.
9.
Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ
بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ
بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
“Ash-Shiyam
dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari
Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya
dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.”
Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada
malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan
syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول
يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من
الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه
كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y،
بل هو طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و
تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya
adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi
syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah.
Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah
secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik
ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya
kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan
Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada
juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi
pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan
pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang
semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang
dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. ….
sementara penta’wilan (pemalingan maksud hadits dari makna sebenarnya kepada
makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode generasi salaf
radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan
pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan
seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang
yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka
waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang
menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ،
وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga
pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang
bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …”
[At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari
hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum
ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a
yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ
))
“Setiap
orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).”
[Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan
pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin
Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ
))
“Sesungguh
orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam
Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya
hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [7])
——————————
[1]
Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2]
Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3]
Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4]
Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984
beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5]
At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6]
Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq
Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi
yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh
Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa
orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah
no. 4325.
[7]
Lihat Al-Irwa` no. 921.
4.
Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ،
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ
)) [رواه مسلم]
“Shalat
lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya
merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.”
[HR. Muslim] ([1])
Namun
keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada
sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal
ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya
:
“Jika
kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang
kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).”
[An-Nisa` : 31]
Berkata
Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
“Tentu
ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang
mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa
besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan
kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh
kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah
dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah
terbetik dalam sanubari manusia.
Termasuk
pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai
kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan
dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan,
sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara
shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara
Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang
terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi
Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana
di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari pelakunya),
terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.” [2])
Dari
keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1.
Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus
kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa
besar).
2.
bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan
itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak
mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).
2.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah
ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Hadits
ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa
barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat
:
a.
Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum
Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan telah
diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b.
Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan
ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya
dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.
Sehingga
barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas,
dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait
dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui,
antara lain :
a.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz
:
(( وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في
الكبرى
“Barangsiapa
yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap
(pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه،
كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“Barangsiapa
yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta
dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga
dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
[Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits
ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul,
yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini
telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya,
baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab
Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab
Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.
3.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ
))
“Jika
telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah
[Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
————————————
[1]
Muslim 233
[2]
Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3]
Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4]
An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5]
Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6]
Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
5.
Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1.
Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
))
“Jika
telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah
pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun
‘alaihi] ([1])
Dalam
riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
((
… فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka
dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari
tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda,
yaitu :
–
dibukakannya pintu Al-Jannah
–
dibukakannya pintu rahmat
–
dibukakannya pintu langit
sepintas
nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud
“dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik
kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah,
serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana
firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”
[Fathir : 10]
Sehingga
dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya
perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara
“dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1.
Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat
itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah
tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan
mereka.
2.
Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa
keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam
hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ
رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي
))
“Allah
Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang
denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.”
[Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan
tentang maksud : « وصفدت الشياطين »
Di
antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت
الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah
bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya
terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan yang tingkat
kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
para ‘ulama, antara lain :
1.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي
r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم،
لا جميع الشياطين
Bab
: Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan
dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين
» (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling
durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian
beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776
– « إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ
صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
“Jika
pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis
maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–
Disebutkan
pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
((
… وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، …
))
“… dan
padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud
(dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di
antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang
dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar
permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun
ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas,
antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang
dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau
perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين
))، (para syaithan yang
sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya Al-Qur`an ke langit
bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan dengan cara
bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan
juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang
sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga
dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam rangka
penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2.
Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau
berkata :
جاء رجل إلى النبي
r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله
وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟
قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang
datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan
bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya
menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan
shalat (pada malam harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan
Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari
keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum
Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan
digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة – يعني في رمضان –
وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya
Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada setiap
siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim
memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam” [Al-Bazzar] [8])
4.
Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛
فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : ((
آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول
الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض
لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد
من ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه
الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح
الإسناد
“Hadirlah
kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga
pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau
mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau
mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya :
“Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini
yang belum pernah kami mendengar sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh
telah datang kepadaku Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang
memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin.
Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang
yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka
aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata
: ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah
satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia
ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam
hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga
hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan
mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua.
————————–
[1]
Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2]
Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3]
HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa`i no. 2106.
[4]
Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5]
Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ
الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ
إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ – ٨
“Sesungguhnya
Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan bintang-bintang, dan juga
sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat
durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat mencuri-curi dengar
(pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan bintang-bintang
tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6]
Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7]
Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8]
HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat
Tarhib no. 1002
[9]
HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat Tarhib
hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan pula dari
shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi.
Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih
bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)