bena sekolah

bena sekolah

Rabu, 27 Mei 2015

12 Aurat Wanita Menurut Al-Qur'an dan Hadits

12 Aurat Wanita Menurut Al-Qur'an dan Hadits

بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية: 102
 
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
a) Bulu Kening

Bulu kening atau bulu wajah adalah aurat bagi seorang wanita. Maksudnya aurat disini, seorang wanita dilarang untuk mencukur atau mengeruknya dengan tujuan untuk mempercantik wajahnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sa menurut Bukhari, “Rasulullah melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening, atau meminta supaya dicukurkan bulu kening.” (HR.Abu Daud)
Berdasarkan hadits tersebut, jelas sekali bahwa mencukur atau menipiskan bulu kening atau bulu wajah, seperti alis, bulu pipi, bulu di dahi, atau bulu di atas bibir adalah haram.
Kaum wanita memang sangat memperhatikan kecantikan, terutama kecantikan wajah. Hal ini karena wajah adalah bagian pertama dan utama yang dipandang pertama kali oleh orang apabila bertemu. Maka dari itu, tak heran apabila banyak dikalangan wanita yang rela mengeluarkan uang banyak untuk mempercantik wajahnya.
Salah satu cara yang umum dilakukan oleh kaum wanita untuk mempercantik wajahnya adalah dengan mencukur, mencabut, mengeruk, atau menipiskan bulu kening atau alis matanya. Kemudian, bulu kening tersebut akan dibuat sedemikian rupa hingga terlihat lebih vantik dari sebelumnya. Alat kecantikan untuk membentuk alia atau bulu kening pun banyak dijual di pasaran dengan harga yang berbeda-beda.
Saat ini dengan berbagai media atau alat kecantikan yang semakin banyak, cara-cara untuk mempercantik wajah juga semakin mudah. Disamping itu, para pakar atau ahli kecantikan dalam hal bulu kening atau alis juga telah banyak bermunculan. Jadi, tek heran jika saat ini kebiasaan mencukur, mencabut, atau menipiskan bulu kening jauh lebih marak dari pada, pada zaman dahulu.
Namun, persoalannya adalah bagaimana hukumnya mempercantik wajah dengan cara mencukur bulu kening tersebut menurut syariat islam ? inilah yang banyak dilupakan oleh manusia zaman sekarang. Mereka seakan anti terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sa sampai-sampai banyak yang tidak mengindahkan ajaran beliau.
Pertama diriwayatkan dari Imam Tabari, bahwa istri Abu Ishaq pergi kerumah Aisyah radhiallahu’anha. Pada waktu itu, wajahnya terlihat sangat cantik jelita. Dia lalu bertanya kepada Aisyah mengenai hukum seorang wanita yang membuang bulu-bulu yang terdapat di dahinya untuk bertujuan menambatkan hati suaminya. Aisyah menjawab, “Haspukanlah kejelekan yang ada pada dirimu sekuat yang kamu mampu”. Inilah hadits pertama yang menegur secara terang-terangan mereka yang mencukur bulu kening atau bulu wajah.
Kedua, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Daud yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat wanita-wanita yang mencabut bulu kening atau bulu muka (al-namisah) atau meminta orang lain mencukur atau mencabut bulu keningnya (al-mutanammisah), wanita yang mengasah gigi supaya kelihatan cantik. Perbuatan itu telah mengubah ciptaan Allah.”
Mengenai hadits pertama, Imam Nawawi berpendapat bahwa jabatan Aisyah kepada wanita itu mwmbawa arti bahwa wanita boleh bersolek untuk suami, boleh merawat wajah untuk menghilangkan kejelekan seperti jerawat, bintik-bintik, dll. Namun demikian, ia tidak boleh mencabut atau mencukur bulu-bulu di muka, termasuk bulu kening untuk membentuk alias mata yang cantik.
Sedangkan mengenai hadits yang kedua, ulama pun menjelaskan pengertian al-namisah. Ibnu katsir berpendapat bahwa kata tersebut maksudnya adalah wanita-wanita yang pencabut. Ibnu Hajar berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wanita yang mencabut bulu-bulu di wajah dengan alat pencabut. Abu Daud berpendapat bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah wanita yang mencabut bulu-bulu kening atau mencukurnya dengan pisau pencukur sehingga kelihatan halus.
Pada intinya menunjukkan maksud dari kata al-namisah, yaitu mencabut bulu-bulu diwajah untuk kelihatan cantik dan berseri. Sedangkan menurut mayoritas Ahli Fiqih, mencabut atau mencukur bulu kening sehingga kelihatan halus adalah diharamkan, baik laki-laki atau wanita. Hal itu karena perbuatan tersebut termasuk dalam istilah mengubah ciptaan Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam hadits kedua di atas.
Namun, bagi wanita yang mempunyai bulu kening atau alis mata yang terlalu panjang atau terlalu lebat sehingga kelihatan jelek atau tidak enak dipandang, maka diperbolehkan mencabutnya sekedar saja. Yang demikian ini, tidak dianggapmengubah ciptaan Allah SWT.
Jika ditinjau dari segi kesehatan, para pakar kesehatan pun melarang seorang wanita mencukur atau mencabut habis bulu kening atau alisnya. Memang rambut alis termasuk aspek yang sangat penting bagi penampilan seorang wanita karena bisa menjadi salah satu fitur paling khas yang membentuk wajah seseorang. Beberapa orang memiliki bentuk alis yang menarik, sedangkan yang lainnya terlihat tidak beraturan sehingga perlu dirapikan. Tapi, mencukurnya sampai habis tetap didianjurkan, baik oleh agama maupun kesehatan.
b) Kaki
Kaki termasuk aurat bagi wanita. Allah SWT berfirman dalam surat an-nuur ayat 31,“ Dan janganlah mereka (perempuan) menghentakkan kaki ( atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa menampakkan kaki dan mengayunkan badan mengikuti hentikan kaki, terutama bagi mereka yang mengikat dengan gelang(lonceng), sama juga seperti pelacur di zaman Jahiliah. Untuk itu, kaki yang mengenakan gelang berlonceng (gelang yang apabila kaki dihentikan akan menimbulkan bunyi atau suara) adalah aurat bagi wanita dan hukumnya adalah haram.
Mengapa Allah SWT dalam firman di atas melarang wanita menghentakan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya ? Karena, dikhawatirkan laki-laki tergoda akan mendengar bunyi gelang kakinya atau semacamnya. Untuk itu, Allah SWT melarang keras kaum wanita muslimah mengenakan gelang kaki dan menghentakkannya agar gelang kakinya diketahui atau dilihat oleh orang lain.
Dengan demikian, firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 31 di atas, menunjukkan larangan menghentak-hentakan kaki ke bumi karena ia akan menyebabkan perhiasan yang tersembunyi (seperti gelang kaki) diketahui oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Pada sejatinya, memakai gelang kaki saja diperbolehkan selama kakinya tidak dihentak-hentakan hingga gelangnya menimbulkan bunyi dan di dengar oleh orang lain (laki-laki bukan mahramnya). Yang sangat dilarang keras oleh ayat diatas adalah gelang kaki berlonceng. Gelang jenis ini (gelang berlonceng), meskipun kaki tidak dihentak-hentakan, apabila wanita tersebut bergerak, berjalan dll, maka ia akan menimbulkan bunyi tersebut. Inilah yang menjadi larangan di dalam ayat tersebut.
Imam Al-Qurthubi berkata , “Janganlah seorang wanita menghentakan kaki ketika berjalan untuk memperdengarkan suara gelang kaki yang dikenakan karena memperdengarkan suara perhiasan yang telah dipakai sama dengan memperlihatkan wujud perhiasan tersebut bahwan lebih. Sasaran dari pelarangan ini adalah agar wanita menutup diri”.
Beliau melanjutkan, “Siapa di antara wanita yang melakukan hal ini karena bangga dengan perhiasan yang dipakai maka perbuatan tersebut makruh. Dan bila ia melakukan dengan maksud tabarruj dan sengaja menunjukkan kepada kaum lelaki, maka ini haram lagi tercela.”
Syariat memiliki aturan bahwa wanita adalah makhluk yang memiliki kewajiban untuk menutup keindahan yang memiliki kewajiban untuk menutup keindahan yang ada pada dirinya ketika berhadapan dengan laki-laki. Namun, tidak semua laki-laki diharamkan untuk melihat seorang wanita. Mereka adalah para mahram bagi wanita tersebut.
Abu salamah bin Abdirrahman berkata, “ Aku dan saudara laki-laki Aisyah sepersusuan, masuk menemui Aisyah. Lalu, saudara ini bertanya tentang tata cara mandi janabah Rasulullah sa, maka Aisyah pun meminta sebuah bejana yang berisi air sekitar satu sha’, lalu Aisyah mandi dan menuangkan air di atas kepala sementara antara kami dan Aisyah ada hijab.”
Al-Qadhi ‘Iyyadh berkata, “Zhahir hadits ini menunjukkan keduanya melihat apa yang dilakukan Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuh dalam batasan yang halal bagi mahram untuk memandang karena Aisyah adalah bibi susu Abu Salamah. Ia disusui oleh Ummu Kultsum binti Abuk Bakar, saudara perempuan Aisyah hanya menutupi bagian bawah tubuh yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.”
Al-Qadhi juga menyatakan, “Seandainya keduanya tidak menyaksikan hal itu dan tidak melihat, maka tidak ada makna Isyah meminta air dan taharah dihadapan kedua karena bila Aisyah melakukan hal itu semua dalam keadaan tertutup dari keduanya, niscaya hal itu adlah kesia-siaan. Adapun penutup yang dikenakan Aisyah adalah untuk menutupi bagian bawah tubuh yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kaki yang mengenakan gelang berlonceng adalah haram hukumnya. Hal ini karena kaki adalah aurat bagi wanita, yang apabila ia menampakkan kepada laki-laki yang bukan mahramnya, maka ia berdosa. Berdosa karena dapat membangkitkan atau menimbulkan syahwat laki-laki yang melihatnya. Untuk itu, bagi para wanita muslimah yang ingin mengenakan gelang kaki, maka gunakanlah gelang kaki yang tidak berbunyi
Tampil cantik dan menarik merupakan kodrat kewanitaan. Di era modern ini, sebagian kaum hawa melakukan berbagai macam perawatan agar tampil cantik. Salah satu bentuk perawatan yang ditawarkan rumah-rumah kecantikan adalah mencukur atau mencabut bulu alis mata. Sebagian kaum wanita yang merasa bulus alisnya tidak sesuai dengan keinginan mencoba menghilangkannya. Selanjutnya, mereka akan membentuk sendiri bulu matanya dengan cara melukis sesuai dengan tren dan keinginan. Masalah mencabut atau mencukur bulu alis yang dilakukan kaum hawa telah berkembang sejak zaman dulu. Bahkan, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW memberi perhatian khusus terhadap masalah ini. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah mengutuk perempuan-perempuan pentato dan mereka yang minta ditato, perempuan-perempuan pencukur alis dan mereka yang dicukur alisnya, perempuan-perempuan yang mengikir giginya agar lebih indah dan mereka yang mengubah ciptaan Allah.”

Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam buku Fiqih Wanita, mengatakan, mengubah ciptaan Allah yang dengan cara menambah atau mengurangi dilarang agama. Menurut dia, mengubah bentuk wajah dengan make up, bentuk bibir maupun alis, termasuk juga mencukur alis, mengecat kuku dan lainnya adalah haram. Menurut al-Jalam, Islam menganggap hal itu sebagai cara berhias yang berlebihan. Lebih jauh dijelaskan, dewasa ini banyak wanita yang justru tidak mengerti tabiatnya sendiri. Mereka tidak tahu bahwa dengan keluarnya dari tabiat kewanitaan, mereka tidak lagi asli dan tidak benar-benar wanita lagi. Padahal, papar al-Jamal, setiap wanita sebenarnya telah diciptakan Allah dengan wajah tersendiri. Oleh sebab itulah, dia meminta agar kaum Muslimah tidak meniru-niru praktik yang dinilai bertentangan dengan Sunatullah tersebut.
Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jum’ah Muhammad juga telah mengeluarkan fatwa terkait an-namsh atau mencabut bulu alis. Menurut dia, terdapat dua pendapat dikalangan para ahli bahasa mengenai masuknya bulu-bulu lain yang tumbuh diwajah kedalam larangan ini. “Perbedaan inilah yang mendasari perbedaan ulama mengenai hukum mencabut bulu selain bulu alis; antara yang menghalalkan dan yang mengharamkannya,” papar Syekh Ali Jum’ah. Menurut beliau, an-namishah adalah perempuan yang mencabut bulu alis orang lain. Sedangkan, al-mutanammishah adalah perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya. “Ancaman dalam bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu merupakan pertanda bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar,” papar Syekh Ali Jum’ah. Sehingga, kata dia, mencabut bulu alis bagi wanita adalah haram jika dia belum berkeluarga, kecuali untuk keperluan pengobatan, menghilangkan cacat atau guna merapikan bulu-bulu yang tidak beraturan. Perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut, hukumnya dalah haram. Menurut Syekh Ali Jum’ah, perempuan yang sudah berkeluarga, diperbolehkan melakukannya jika mendapat izin dari suaminya, atau terdapat indikasi yang menunjukan izin tersebut. “Ini merupakan pendapat jumlah [mayoritas] ulama.”
Mereka beralasan bahwa hal itu termasuk bentuk berhias yang diperlukan sebagai benteng guna menjauhi hal-hal tidak baik dan untuk menjaga kehormatan [‘iffah]. Maka secara syar’i, seorang istri diperintahkan untuk melakukan demi suaminya. Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dari istri Abu Ishak.
Pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah RA. Istri Abu Ishak itu adalah seorang perempuan yang suka berhias. Dia berkata kepada Aisyah, “Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu disekitar keningnya demi suaminya?” Aisyah menjawab, “Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu semampumu.” Dalam risalah Ahkaam an Nisaa’ karya Imam Ahmad, beliau mengatakan, Muhammad bin Ali al Wariq memberitakan, katanya, “Mahna bercerita kepada kamu bahwa dia pernah bertanya kepada Abu Abdillah tentang mencukur wajah. Maka dia menjawab, “Bagi wanita itu tidak ada jeleknya.”Akan tetapi, oleh peneliti risalah itu dijelaskan, “Mencabut pun termasuk mengubah wajah juga. Karena mencabut artinya membedol rambut dari tempat aslinya, sehingga seolah-olah tempat itu akhirnya tidak berambut, padahal aslinya berambut. Berarti mencabutpun sama halnya dengan melakukan perubahan.”

Dalam kitab Ad Diin al Khalish, Imam Ahmad kembali menegaskan, “Kalau ada wanita yang tumbuh kumis atau janggut, maka tidaklah haram menghilangkannya, bahkan mustajab atau malah wajib.”Berdasarkan pendapat itu wanita hendaknya membersihkan wajahnya sesuai dengan kewanitaannya. Caranya, seperti disampaikan kembali oleh Imam Ahmad, membersihkan wajah dari rambut-rambut yang berlebihan, jangan memakai pisau cukur, tapi hilangkanlah dengan krem, bedak khusus atau yang sejenisnya.
Dilarang bagi wanita Islam untuk mengerik rambut alisnya dengan cara apapun baik mencukur, memotong ataupun menggunakan alat pengerik seluruhnya ataupun hanya sebagian. Karena ini termasuk namsh (pengerikan) yang dilarang oleh Nabi. Orang yang melakukannya baik namishah (pengerik alis) maupun mutanamishah (yang meminta dikerik) mereka telah dilaknat oleh beliau Sholallahu ‘Alaihi Wassalam.

Namishah adalah orang yang mengerik atau menghilangkan rambut alis sebagian atau seluruhnya untuk memperindah sesuai dengan kemauannya. Sedangkan Mutanamishah adalah orang yang minta dikerik atau dihilangkan alisnya.
Hal ini tergolong perbuatan merubah ciptaan Allah, yang mana syetan berjanji untuk memerintahkan hal itu kepada anak cucu Adam. Sebagaimana perkataannya yang diceritakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):e
“Dan pasti aku akan menyuruh mereka merubah ciptaan Allah lalu benar-benar dia merubahnya” (Q.S An Nisa : 119)
Di dalam kitab Shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Allah melaknat orang yang membuat tato, orang yang minta dibuatkan tato, orang yang mengerik alis, orang yang minta dikerikkan alis, orang yang mengikir giginya dengan maksud memperindah dengan merubah ciptaan Allah.”.Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “mengapa saya tidak mengutuk apa yang dikutuk oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam sedangkan di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,’Apapun yang disampaikan oleh Rasul kepadamu, maka laksanakanlah, dan apapun yang dilarangnya maka jauhilah’(Al Hasyr:7)”
(Hadist Riwayat Bukhari – Muslim)
Ibnu Katsir menceritakan hal itu di dalam Tafsirnya (2/359 cetakan Dar Al-Andalus):”Dan telah diuji dengan bahaya yang mengkhawatirkan, yang ini merupakan dosa besar dari dosa-dosa besar yang kebanyakan dilakukan oleh wanita sekarang sehingga Namsh (kerikan alis) menjadi sebuah kebutuhan pokok harian. Dan seorang istri tidak diperbolehkan mentaati suami jika ia menyuruh berbuat hal tersebut karena hal itu termasuk perbuatan maksiat” Dilarang bagi wanita Islam untuk mengerik rambut alisnya dengan cara apapun baik mencukur, memotong ataupun menggunakan alat pengerik seluruhnya ataupun hanya sebagian. Karena ini termasuk namsh (pengerikan) yang dilarang oleh Nabi. Orang yang melakukannya baik namishah (pengerik alis) maupun mutanamishah (yang meminta dikerik) mereka telah dilaknat oleh beliau Sholallahu ‘Alaihi Wassalam.
Namishah adalah orang yang mengerik atau menghilangkan rambut alis sebagian atau seluruhnya untuk memperindah sesuai dengan kemauannya. Sedangkan Mutanamishah adalah orang yang minta dikerik atau dihilangkan alisnya.
Hal ini tergolong perbuatan merubah ciptaan Allah, yang mana syetan berjanji untuk memerintahkan hal itu kepada anak cucu Adam. Sebagaimana perkataannya yang diceritakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):e
“Dan pasti aku akan menyuruh mereka merubah ciptaan Allah lalu benar-benar dia merubahnya” (Q.S An Nisa : 119)
Di dalam kitab Shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Allah melaknat orang yang membuat tato, orang yang minta dibuatkan tato, orang yang mengerik alis, orang yang minta dikerikkan alis, orang yang mengikir giginya dengan maksud memperindah dengan merubah ciptaan Allah.”.Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “mengapa saya tidak mengutuk apa yang dikutuk oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam sedangkan di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,’Apapun yang disampaikan oleh Rasul kepadamu, maka laksanakanlah, dan apapun yang dilarangnya maka jauhilah’(Al Hasyr:7)”
(Hadist Riwayat Bukhari – Muslim)
Ibnu Katsir menceritakan hal itu di dalam Tafsirnya (2/359 cetakan Dar Al-Andalus):”Dan telah diuji dengan bahaya yang mengkhawatirkan, yang ini merupakan dosa besar dari dosa-dosa besar yang kebanyakan dilakukan oleh wanita sekarang sehingga Namsh (kerikan alis) menjadi sebuah kebutuhan pokok harian. Dan seorang istri tidak diperbolehkan mentaati suami jika ia menyuruh berbuat hal tersebut karena hal itu termasuk perbuatan maksiat” Dilarang bagi wanita Islam untuk mengerik rambut alisnya dengan cara apapun baik mencukur, memotong ataupun menggunakan alat pengerik seluruhnya ataupun hanya sebagian. Karena ini termasuk namsh (pengerikan) yang dilarang oleh Nabi. Orang yang melakukannya baik namishah (pengerik alis) maupun mutanamishah (yang meminta dikerik) mereka telah dilaknat oleh beliau Sholallahu ‘Alaihi Wassalam.
Namishah adalah orang yang mengerik atau menghilangkan rambut alis sebagian atau seluruhnya untuk memperindah sesuai dengan kemauannya. Sedangkan Mutanamishah adalah orang yang minta dikerik atau dihilangkan alisnya.
Hal ini tergolong perbuatan merubah ciptaan Allah, yang mana syetan berjanji untuk memerintahkan hal itu kepada anak cucu Adam. Sebagaimana perkataannya yang diceritakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):e
“Dan pasti aku akan menyuruh mereka merubah ciptaan Allah lalu benar-benar dia merubahnya” (Q.S An Nisa : 119)
Di dalam kitab Shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Allah melaknat orang yang membuat tato, orang yang minta dibuatkan tato, orang yang mengerik alis, orang yang minta dikerikkan alis, orang yang mengikir giginya dengan maksud memperindah dengan merubah ciptaan Allah.”.Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “mengapa saya tidak mengutuk apa yang dikutuk oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassalam sedangkan di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,’Apapun yang disampaikan oleh Rasul kepadamu, maka laksanakanlah, dan apapun yang dilarangnya maka jauhilah’(Al Hasyr:7)”
(Hadist Riwayat Bukhari – Muslim)
Ibnu Katsir menceritakan hal itu di dalam Tafsirnya (2/359 cetakan Dar Al-Andalus):”Dan telah diuji dengan bahaya yang mengkhawatirkan, yang ini merupakan dosa besar dari dosa-dosa besar yang kebanyakan dilakukan oleh wanita sekarang sehingga Namsh (kerikan alis) menjadi sebuah kebutuhan pokok harian. Dan seorang istri tidak diperbolehkan mentaati suami jika ia menyuruh berbuat hal tersebut karena hal itu termasuk perbuatan maksiat”

Selasa, 26 Mei 2015

Sholat dalam Ahli Tasawuf ,Ahli Susi,Ahli Fiqh

Sholat dalam Ahli Tasawuf ,Ahli Susi,Ahli Fiqh
بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Sholat dalam Tasawuf 
TIGA SUDUT PANDANG TASAWUF
Tasawuf sumbernya ada 3 macam (tasawuf indal akhlaq wal adab, tasawuf indal Fuqaha, tasawuf inda ahlil Ma’rifat ) Ini yang perlu diketahui. Tasawuf indal akhlaq wal adab bisa kita terapkan sedini mungkin untuk anak-anak kita. terutama makan dengan tangan kanan, masuk kamar mandi dengan kaki kiri, keluar kaki kanan ini tasawuf akhlak wal adab. Karena sumbernya tasawuf adalah min akhlaq wal adab, dari pekerti dan tatakrama.

Yang kedua adalah tasawuf indal fuqaha: bagimana fiqih ini tidak berhenti hanya secara fiqhiah belaka. Contoh orang kalau sudah menjalakan wudhu mau sholat, setelah dipake shalat wudhunya kemana? Selesai kan?! Nah orang tasawuf tidak mau. Tasawuf menuntut sejauhmana anda membawa wudhu ini terlepas daripada kefardhuan yang sudah anda laksanakan. Apakah anda wudhu didalam shalat hanya terikat oleh syarat-syarat atau hukum-hukum syari’at. Anda dituntut oleh ulama tasawuf agar wudhumu bisa mewudhui bathiniah Anda atau tidak. Dan seterusnya. Disinilah hebatnya ilmu tasawuf. 

Tasawuf inda ahli ma’rifat, nah disni banyak orang terjebak. Dalam dunia tasawuf, dalam ilmu ma’rifat mereka yang perbendaharaannya belum mumpuni, belum mencukupi seringkali terjebak. Akhirnya dia memunculkan analis-analis, seolah-olah tasawuf berbau Budha tasawuf, berbau Hindu. Karena apa? Mereka tidak tahu. Ilmu ma’rifatnya saja mereka tidak mengerti, apa sebetulnya ma’rifat itu. Dari kekosongan itu, mereka belajar menganalis tasawuf; orang-orang yang sudah ahli Marifat, tinggi sekali, dengan bahasanya yang luar biasa. Wong dalam Tasawuf fuqaha saja mereka sudah tidak bisa memahami. Contoh Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali menjawab dunia falsafah, menjawab dunia tauhid aliarn ilmu kalam pada waktu berkembang macem-macem faham. Dijawab dengan tasawuf fuqaha, yaitu dengan munculnya ‘Ihya Ulumiddin’. Mengapa dalam kitab Ihya ulumiddin banyak hadits - hadits maudhu’ disamping dhaif. Karena apa? Pendapatnya ahli falasifah dijawab oleh Imam Al Ghazali dengan hadits yang maudhu saja, masih lebih baik haidits maudhu’ daripada pendapat-pendapat kaum falasifah. Masih tepat, karena apa? Walaupun ini maudhu, tapi yang menggunakannya adalah orang-orang yang mengerti ma’rifat kepada Allah. Makanya disini digunakan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali.

SHOLAT SESUAI ILMU TASAWUF

menurut ilmu tasawuf, maka apabila orang itu sholat walau dg sarat rukunnya tapi dia makan barang haram, dan melakukan segala perbuatan tercela, seperti sombong zina, membunuh, membicarakan kejelekan orang, mengadu domba, melakukan riba, minum arak, dan perbuatan dosa yang lain maka solatnya tak sah, dalam artian tidak menerim phala, atau makin salat makin menjadi-jadi dosanya.

SHOLAT DALAM PANDANGAN AHLI SUFI

·         Takbirotul Ihram

Di sini maksudnya, berpisah dari Alam Mulki dan fanalah hamba. ketika mengucapkan ‘Allohu Akbar’. Hanya sifat ‘yang menyembah’ saja yang tinggal sebagai penzohiran. wujud Alloh ‘Yang Disembah’. Ia bergerak dengan gerak Alloh. Ia berkata-kata dengan kata-kata Alloh. Takluknya dalam rahasia Titik bagi Alif – ‘Tiada’. Seperti kata Abu Yazid Busthomi, “Ariftu Robbi bi Robbi’. (Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku).[4]

·         Membaca Fatihah

Ketika membaca Fatihah, terbukalah Pintu Alam Malakut bagi ‘yang menyembah’. Dia menyaksikan kalimat Alloh melalui penyingkapan (syuhud) akan firman Alloh; “Maliki yaw middin” di dalam Kerajaan Alloh Ta’ala. Dari takluknya ‘Tiada’ ia menjadi Titik dari NurNya (Nur Muhammadi) . Dengan Nur Muhammad inilah ‘yang menyembah’ mengenal dirinya ‘man arofa nafsahu’ - sebagai ‘Ruh-Nya’ yang pernah dihimpunkan di Alam Lahut semasa Adam baru sempurna kejadiannya, yakni ketika Jibril menepuk tulang sulbi Adam, maka keluarlah semua ruh anak cucu Adam dari tulang sulbi Adam itu.

Adapun ‘Ruh-Nya’ itu pada hakikatnya adalah satu jua, yaitu daripada Sirulloh.Ruh anak cucu Adam itu hanyalah bayangan (menumpang) dari Ruh-Nya.Tanpa hadirnya Nur Muhamad, ‘yang menyembah’ tak mungkin bisa berhadap di depan Alloh Ta’ala. Dengan perwujudan Nur Muhammad inilah maka ‘yang menyembah’ .... “ Kepada Engkaulah kami sembah dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan mereka yang Engkau berikan ni’mat, bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.”. Maka di Amin kan akhir Fatihah itu oleh para malaikat dari setiap 7 lapis langit, yaitu dari: Alam Mulki, Alam Malakut, Alam Jabarut, Alam Bahut, Alam Lahut, Alam Ahut dan yang tertinggi Alam Al-Insan yang di sinilah kemuncaknya Sholat itu. Adapun maksud ‘jalan yang lurus’ bagi kalangan sufi ialah Mi’roj. Sebagaimana sabda Nabi SAW; “Sholat itu adalah mi’roj bagi mukmin”. Tujuan Mi’roj itu ialah Penyatuan, yakni kembalinya ‘yang menyembah’ kepada ‘Yang Disembah’.

·         Rukuk

Takluknya kepada huruf 'Lam' terzohirnya dari Alif - 'yang menyembah' menampakkan 'Yang Disembah'. Alif adalah Kanzun Mahfiyyan (Yang Tersembunyi). Yang Tersembunyi ingin dikenali maka dizohirkan Lam sebagai tabirnya. Sabda Nabi SAW,"Dirikanlah sholat seolah-olah kau melihat Alloh". Para Arif Billah telah berkata bahwa"Siapa yang kenal dirinya, kenallah Tuhannya." 'Yang menyembah' dinatijahkan seperti 'angin', manakala tatkala 'yang menyembah' pada posisi berdiri tadi, natijahnya adalah 'api' – fana dalam wujud. Api itu sifatnya membakar - yakni melenyapkan keakuan diri. Pada tahap 'rukuk' ini, 'yang menyembah' berada dalam suatu tarikan yang tersangat kuat dari Nur Muhammad. Justru itulah ia dinatijahkan kepada angin (tunduk dan menderu). 'Yang menyembah' ditarik masuk ke dalam Alam Jabarut dan berpisah dari Alam Malakut. Justru itulah kata para Arif Bilah , "Barangsiapa mencari Tuhan jauh  dirinya, niscaya akan sesat.". sebabbnya Allah teramat dekat dengan kita ,Pada tahap ini 'yang menyembah' melepas qolbunya dan yang tinggal padanya adalah Roh-Nya yang akan naik ke lapisan yang lebih tinggi untuk kembali kepada Tuhan. Alam Jabarut yang menghubungkan Perbendaharaan Wujud (batas larangan yang tak bisa ditembus melainkan kepada Nur Muhammad) di antara yang 'maujud' - 'yang menyembah'. 'Yang menyembah' mengenal dirinya di Alam Jabarut, maka tersingkaplah baginya seluas-luasnya wujud Alloh tanpa tabir bahwa 'yang menyembah' telah bersatu dengan 'Yang Disembah' sebagaimana adanya di dalam Misykat itu ialah Cahaya-Nya. (Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ). Maka bertasbihlah 'yang menyembah', "Maha suci Tuhanku yang Maha Agung dengan sifat kepujiannya”

Jika difahami ayat itu, maka pengertian bersatu dengan 'Yang Disembah' yang dimaksudkan di sini bukanlah mengambil kefahaman 'Hulul' sebagaimana yg diyakini oleh Mansur Al-Hallaj. Yang lebih ditekankan di sini ialah Wahdatusy-Syuhud (Kesaksian Penyatuan).

·         I’tidal

'Yang menyembah' adalah yang dibangkitkan - ‘Yang menyembah’ masuk dalam ‘Pintu Kematian.’ “Matikanlan dirimu sebelum mati”. Di sini juga artinya ‘waqof’ (sementara) dalam Sholat.

·         Sujud Awal

Takluknya kepada huruf 'Lam' - juga huruf 'Mim'. Nabi Muhammad SAW bersabda,"Aku dizohirkan ke dunia dalam keadaan sujud". 'Yang menyembah' dinatijahkan kepada air. Air adalah sumber kejadian Alam Mulki. Arasy Tuhan berada di atas air. Maka 'yang menyembah' dinatijahkan kepada air, karena di sinilah 'yang menyembah' sampai di Alam Bahut. Alam Bahut adalah Pembatasan Terakhir Segala Penzohiran, Ungkapan Syeikh Akbar Ibnu Arobi; Syajarotul - Kaun (Pohon kejadian) atau sebutan yang sering juga disebut - Sidrotul Muntaha. Pada tahap ini 'yang menyembah' adalah Ruh-Nya yang di dalam Sirr. Sabda Nabi Muhammad SAW ketika mi'roj baginda melihat Wajah Alloh, "Aku tidak tahu di mana aku berada". Pada tahap ini juga 'yang menyembah' menyerap kepada 'Yang Disembah' seolah-olah 'yang menyembah' itulah 'Yang Disembah,' 'Yang Disembah' itulah 'yang menyembah, - yang pada hakikatnya wujud terurai dalam fana fil sifat dan lebur dalam fana fil zat – ‘Melihat Alloh dengan Alloh’ – maka ‘yang menyembah’ diberikan pengetahuanNya – Anal Haq (Akulah Yang Benar’).

Dari sisi tahap ini, lihatlah kepada ‘Basmalla’. Hanya ‘Ba’ dalam Basmallah saja yang tercantum dengan Alif. Sabda Nabi SAW; “Seluruh kitab Al-Qur’an itu terkandung dalam Al-Fatehah. Dan seluruh Al-Fatehah itu terkandung dalam Basmallah. Dan Basmallah terkandung dalam huruf ‘Ba’. Dan rahasia ‘Ba’ itu adalah Titik di bawahnya” Inilah yang dimaksudkan oleh Syekh Ibnu ‘Arobi Wujud Kesatuan – Wahdatul Wujud. Maka bertasbihlah ‘yang menyembah’, “Maha suci Tuhanku yang Maha Mulia dengan sifat kepujian-Nya.”

·         Duduk diantara 2 Sujud

Takluknya pada huruf ‘Ha’ besar dan juga ‘Ha’ kecil (maksudnya selepas huruf Jim). ‘Yang Menyembah’ telah dikurniai ‘Baqo’ setelah fana fil sifat dan fana fil zat. Dengan dikurniai ‘Baqo’, barulah ‘yang menyembah’ dapat memasuki Perbendaharaan Rahasia Tuhan – Ilahiyat - pada sujud yang akhir nanti, sebagaimana diistilahkan oleh para Arif Billah melalui tiga tahapan, Yaitu ; ( Ahadiat, - Wahdat, - Wahadiat ). Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di Alam Lahut – Alam Tiada, yang tiada sesuatu pun yang tercipta, tiada awal dan akhir, ‘yang menyembah’ menyaksikan kekosongan tanpa perbatasan, dan disinilah awalnya Diri yang kemudiannya dizohirkan sebagai Adam. Di kalangan sufi, ia juga diistilahkan ‘Negeri ‘Adami’. Diri (‘yang menyembah’) dinisbahkan kepada air yakni Air Mutlak, inilah asal-usul manusia dari alam tiada ‘La’.

Pada tahap ini juga ‘yang menyembah’ adalah di dalam Sirr-Nya – Ruh-Nya dalam keghoiban Nur Muhammad. Haqiqot Ruh-Nya adalah Nur Muhammad. Di sinilah ia bermunajat; “ Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, afiatkanlah aku dan maafkanlah aku.”

·         Sujud Akhir

Takluknya pada rahsia huruf ‘Ha’ – yang tak kelihatan atau bunyi diujungnya ‘Hu’ dan juga huruf ‘Mim’. Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di Alam Ahut’ pada nisbahnya air yang di bawah ‘Arasy Tuhan . Yang tinggal pada ‘yang menyembah’ adalah Sirulloh. Di dalam Sirr, inilah Aku. Kata Ahli Sufi, ‘Air dalam gelas, tak dapat dibedakan lagi. Air itulah gelas. Gelas itulah air.” ‘Yang menyembah’ itulah ‘Yang Disembah’ dalam gedung makrifat, bukan dalam gedung syari’at, gedung thoriqot dan gedung haqiqot. Pahamkanlah ini ‘Yang menyembah’ tidak bisa menjadi ‘Yang Disembah’ dalam arti haqiqot. Ini hanya pada makrifat semata-mata. Ingatlah, bukan faham hamba yang bertukar menjadi Tuhan. Camkan air di dalam gelas, bersatu dalam kejernihan. Lihatlah pada ‘ombak’- ombak hanya pada nama yang diberikan padahal itu air yang beriak dan menggelora.

Pada sujud akhir inilah, ‘yang menyembah’ memasuki Wilayah Ilahiyat:
·       Ahadiat – Zat Mutlak atau Zat wajibal wujud
·       Wahdat – Zat Yang Maha Esa
·       Wahadiat – ILAH - Zat yang maha kaya daripada tiap-tiap sesuatu yang lain dan sesuatu yang lain memerlukannya.

Zat ingin dikenali sebagai Kanzun Mahfiyyan. Di sinilah terbitnya ungkapan ‘Kun’ jadilah maka jadilah ia.

·         Duduk Tahiyat Akhir

Takluknya pada huruf Dal. Pada tahap ini ‘yang menyembah’ berada di Alam Al-Insan, dinisbahkan kepada tanah ketika ia duduk – dalam kesempurnaan. Dia yang mengenal dan Dialah yang dikenal pada akhirnya. Dialah yang turun dan naik dalam mi’roj.“Rahasia Insan RahasiaKu, RahasiaKu Rahasia Insan”.

Di Alam Insan, ‘yang menyembah’ diliputi dengan Wujud, Ilmu, Nur dan Syuhud, maka Zat adalah rahasianya, Sifat adalah ruhnya, Asma’ adalah qolbunya dan Af’al adalah tubuhnya. Di sinilah ia mengucapkan Selamat sejahtera (tahiyat) ke atas Nabi dan rahmat Alloh dan keberkatan-Nya. Juga kepada hamba-hamba yang solihin sekaliannya. Dialah yang menyaksi dan dialah yang bersaksi tiada Tuhan melainkan Alloh dan Muhammad adalah utusan Allah swt.

·         Salam

“Salamun qowlam mir-robbir- rohiim”. Inilah salam ahli syurga. Syurga inilah yang dinikmati oleh ‘yang menyembah’, yakni syurga yang di dalamnya tanpa bidadari, sungai, buah-buahan dan pepohonan. Di syurga inilah ‘yang menyembah’ terlena memandang Wajah Alloh.

Perlu kita renungi ini adalah sutu konsep atau pandangan dari para Arif Bilah yang pemahamannya sudah jauh dari manusia awam, yang perlu kita tekankan sholat (sujud) adalah salah satu rahasia diri kita, jadi tidak perlu diungkapakan dengan kata-kata bagaimana aku sholat (sujud), cukuplah untuk diri kita pribadi,. (semuanya jadi kosong). tapi jika kita berkholwat silahkan berbicara sebebas - bebasnya.
PERBANDINGAN SHOLAT DALAM PERSEPEKTIF FIQIH DAN TASAWUF

·       Sholat dalam persepektif fiqih ( sholat formal )


Sebagai ibadah terpokok dalam Islam, shalat dipastikan menjadi "trade mark" bagi siapapun yang mengaku beragama Islam, artinya ke-Islaman seseorang secara lahir dapat dilihat dari shalatnya. Jika shalatnya "baik" maka orang tersebut dikenal sebagai Islam santri atau Islam "hijau" (terkadang disebut Islam putih). Sebaliknya jika shalatnya "jelek" atau malah tidak shalat, maka orang tersebut akan dikatakan sebagai Islam KTP atau Islam abangan.

Lebih dari sekedar "trade mark" , ada sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh at-Turmudziy dll, bahwa Rasulullah SAW menegaskan betapa pentingnya shalat:
إن أول ما يحاسـب به العبد يوم القيامة من عمله صـلاته فإن صلحت فقد أفلح وأنجح وإن فسدت فقد خاب وخسر...(الحديث(
"Sungguh, amal seorang hamba yang pertama kali diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka dia benar-benar telah beruntung. Tetapi bila shalatnya jelek, maka dia sungguh-sungguh amat merugi...".

Dalam tataran fiqih, shalat dikatakan "baik" manakala telah memenuhi syarat (sesuatu yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat) dan rukun (sesuatu yang harus dipenuhi ketika mengerjakan shalat) nya. Sebagaimana dapat dibaca dalam kitab-kitab fiqih, syarat shalat ada dua macam ( Syarat wajib sholat dan Syarat sah-nya sholat ).

Syarat wajib sholat yaitu ;
1.       Islam
2.       Baligh ( bagi laki-laki bila sudah mimpi keluar mani, sedang bagi perempuan bila sudah haidl)
3.       Berakal sehat (tidak gila)

Sedangkan, Syarat sahnya sholat, yaitu :
1.       Mengetahui waktu shalat
2.       Suci dari hadats (baik hadats kecil maupun hadats besar) dan najis
3.       Menutup aurat (bagi laki-laki adalah bagian badan antara pusat dan lutut, sedang bagi perempuan adalah seluruh tubuh selain muka dan dua tapak tangan)
4.       Menghadap arah qiblat bagi yang memungkinkan

Sementara, Rukun sholat adalah :
1.       Berdiri bagi yang mampu (kalau tidak mampu maka duduk, dan jika tidak sanggup maka telentang dengan posisi kaki di arah qiblat)
2.       Takbiratul Ihram (mambaca Allaahu Akbar pertama) disertai niat shalat
3.       Membaca surat al-Fatihah (dalam keadaan berdiri bagi yang mampu)
4.       Ruku' (membungkuk 90 derajat)
5.       I'tidal (berdiri tegak sesudah ruku')
6.       Sujud (7 anggota badan harus menyentuh tempat shalat, yaitu dahi, dua tapak tangan bagian dalam, dua lutut dan jari-jari dua kaki) dengan posisi pantat diangkat lebih tinggi dari kepala
7.       Duduk di antara dua sujud
8.       Duduk tahiyyat/tasyahhud (membaca at-tahiyyaat/syahaadatain)
9.       Membaca tahiyyat/tasyahhud dan shalawat Nabi.
10.    Mengucapkan salam (sambil menengok ke kanan dan ke kiri)
11.    Tertib (semua rukun shalat dikerjakan secara urut)

Seorang muslim/ah yang telah melaksanakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukun tersebut, berarti telah menunaikan kewajibannya. Mengenai bacaan/doa (selain rukun di atas) yang mengiringi/menyertai semua gerakan dalam shalat hukumnya adalah sunnah (sebaiknya dibaca, tetapi kalau tidak dibacapun shalatnya tetap sah)
Nabi صلى الله عليه وسلم diantara lain sabdanya : فقوله صلى الله عليه وسلم : من سلك طريقا يطلب فيه علما سلك الله به طريقا إلى الجنة. (Man salaka thariiqan yathlubu fiihi 'ilman salakallaahu bihi tharii- qan ilal jannah). Artinya :"Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sor

Siapa Saksi Syahadah Kita?

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

 


PEYAKSIAN KALIMAH SYAHADAH


 Tuan-tuan dan puan-puan yang dirahmati Allah sekalan. Disini saya tidak bercadang untuk mengupas atau tidak bercadang untuk menterjemahan syahadah dalam bentuk kalimah tauhid atau kaliamah Rasul. Keranan kaimah tauhid dan kalimah Rasul,  tafsir panjang lebar sudah terkandung dan sudah terdapat didalam kitab mengenal makrifat (kitab mengenal Allah yang bewarna hijau), halaman 26 daripada muka surat 496  sehingga 530.
Dikesepatan ini, saya bercadang untuk membicarakan tentang peyaksian, iaitu apa maksud saksi dan apa makna meyaksikan!. Sebelum berkalimah syahadah, terlebih dahulu marilah bersama-sama kita memohon petunjuk dan hidayah dari Allah s.w.t, agar lafaz yang terkeluar dari kalam bibir kita itu, dipersetujui, diperkenan dan diredhai Allah s.w.t.
Bagi mendapatkan perkenan atau persetujuan Allah s.w.t, hendaklah terlebih dahulu kita tanya kepada diri kita sendiri, apakah kalimah syahadah yang telah berlangsung di kalam bibir kita itu, dihayati dengan sajian  ilmu atau berlangsung dengan sekadar dendangan alunan suara  bibir?. Hanya hati mereka-mereka yang ditunjuki, dianugerah dan yang   dikehendaki  Allah s.w.t sahaja yang dapat membuka simpulan iman yang tersembunyi di sebalik kalimah syahadah. Allah s.w.t sahaja yang dapat membuka simpulan iman itu dan hanya Allah s.w.t sahaja yang dapat  memberi petunjuk ke arah mengetahui rahsia di sebalik syahadah.
Simpulan iman yang tersimpul di sebalik syahadah itu, teramat sulit untuk dibuka oleh akal. Syahadah itu, tersimpul disebalik simpulan iman. Simpulan iman itu tersimpul di dalam  kalimah  “tahu“  tetapi tidak  “mengetahui” (kenal). Perkataan tahu itu, adalah  simpulan yang tersimpul di sebalik khayalan akal  atau hanya sekadar angan-angan.

 Tanya: Siapa saksi dan siapa yang meyaksikan?.
Jawab: Semasa melafaz dua kalimah syahadah, kita dikehendaki menghadirkan saksi dan mengadakan saksi. Barulah lafazan kita itu diterima pakai, jika kita melafazkan dengan tidak ada saksi, seumpama lafaz seekur burung tiung dan seumpama lafaz dari sebuah radio kaset. Lafaz kita itu tidak ubah seperti lafaz yang keluar dari bibir seorang kanak-kanak yang belum akil baligh.


Sebelum kita melafazkan kalimah syahadah, terutamanya di dalam solat, kita dikehendaki menghadirkan dan menyatakan wajah Allah terlebih dahulu di dalam hati. Setelah wajah Allah itu benar-benar hadir di dalam lubuk hati kita, barulah dua kalimah syahadah yang kita ucapkan itu, ada nilai, ada makna dan ada yang menyaksikannya. Jika Allah tidak dapat kita hadirkan, kepada Tuhan mana hendak kita persaksikan syahadah kita?.

Siapakah saksi dan siapakah yang menyaksikan di kala kita melafazkan kalimah syahadah?. Yang bersaksi (melafaz) kalimah syahadah kita itu, adalah roh, saksinya adalah Allah sendiri dan yang meyaksikannya atau selaku pemerhatinya, adalah anggota zahir dan makhluk alam seluruhnya. Oleh itu sebelum bersyahadah, kita dikehendaki menghadir dan menzahirkan wajah Allah terlebih dahulu, sebagai saksi ucapan syahadah kita. Barulah ucapan kita itu, boleh dikatakan dilafaz melalui saksi.

Jika kita tidak dapat menghadirkan Allah sebagai saksi, siapa lagi yang hendak menjadi saksi kita?. Tidak sah sesebuah kesaksian (perjanjian), bila kita yang melafaz, kita yang menjadi hakim dan kita juga yang menjadi saksinya.

Syahadah yang sah dan yang diterima Allah itu, adalah syahadah yang disertai dengan saksi. Saksi syahadah kita itu, adalah Allah sendiri, tidak ada perantaraan dengan yang lain selain Allah. Seandainya kita tidak mengenal Allah, bagaimana untuk menghadirkan Allah ke dalam hati, sebagai saksi!. Seandainya kita tidak mengenal diri, bagaimana pula untuk menghadirkan roh, bagi menyaksikan perjanjian syahadah kita, ketika mulut melafazkan syahadah?. Selaku orang Islam, jangan kita ambil mudah dan pandang ringan tentang syahadah, ianya adalah payung kepada segala ibadah.

Apabila kedua-duanya tidak dapat kita hadirkan diketika bersyahadah atau diketika sembahyang, apalah ertinya sebuah kalimah syahadah dan apalah maknanya sebuah ibadah sembahyang. Cuba  ajukan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri, apakah ucapan kalimah syahadah dan sembahyang kita itu, sudah dihadiri oleh wajah Allah dan   roh?. jika jawapannya memihak kepada tidak, apalah ertinya, gunanya dan nilainya sebuah syahadah atau solat kita itu, tanpa kehadiran keduanya!. Seandainya kita tidak mengenal Allah, kita tidak akan dapat memahami apa ertinya sebuah kalimah tauhid (Laila hailallah). Manakala seandainya kita tidak mengenal diri,   kita tidak akan dapat memahami erti sebutan kalimah rasul (Muhamadul Rasulullah). Pokok pangkalnya di dalam sebarang ucapan kalimah syahadah yang kita lafazkan itu, ianya memerlukan kepada perkara mengenal Allah dan Rasulnya terlebih dahulu. Barulah segala ibadah dan segala ucapan yang kita lafazkan itu, penuh makna dan penuh erti serta diterima Allah Taala. Apabila kita melafazkan ucapan dua kalimah syahadah atau bersolat, hati kita hendaklah terlebih dahulu menghadirkan Allah. Setelah Allah itu hadir dengan jelas dan nyata di hati kita, barulah lafaz kita itu dianggap sah dan disertai sekali  dengan saksi dan yang menyaksikannya. Barulah syahadah kita itu, diperakui benar oleh Allah Taala.

Kita tidak perlu menghadirkan orang lain selain Allah bagi menjadi saksi  dalam berkalimah. Antara kita dengan Allah, tidak ada hijab, dinding, tembok, sempadan atau perantara. Segala makhluk tidak layak untuk menjadi saksi lafazan keramat syahadah, melainkan Allah sendiri. Bagaimana untuk menzahir dan menghadirkan Allah ke dalam hati kita!, cara dan kaedah untuk menzahir  dan menghadirkan wajah Allah ke dalam hati, adalah dengan belajar ilmu mengenal Allah (ilmu makrifat). Manakala semasa kita melafazkan kalimah rasul (Muhamad Rasulullah), kita dikehendaki mengenal diri (mengenal roh) terlebih dahulu. Bagi yang   tidak mengenal diri, bagaimana untuk menzahir dan menghadirkan roh untuk bersaksi (berjanji). Bagi sesiapa yang tidak dapat menghadir dan menzahirkan roh, siapakah lagi yang layak untuk menyampai dan mengucapan kalimah syahadah kita kepada Allah?.

Anggota zahir seumpama bibir mulut, hanya selaku pemerhati atau selaku menyaksikannya sahaja, tidak lebih dari itu. Diri kita yang zahir ini hanya selaku tukang sebut sahaja, seumpama kuli angkat barang. Selaku kuli, tugas kita hanyalah angkat, angkut dan pikul barang, manakala yang menerima barang itu, adalah majikan kita (roh), selaku tuan yang empunya barang, kita  selaku kuli hanya dapat penat dan dapat pandang sahaja, tanpa dapat rasa sedikit pun dari barang yang kita angkut. Inilah nasib kuli dan nasib orang yang kena suruh.

Apalah yang ada pada kita, selaku hamba abdi yang fakir lagi daif untuk menjadi saksi lafaz kalimah Allah Yang Maha Tinggi. Cuba kita gerak-gerakkan bibir orang yang sudah mati, anggota orang mati itu, boleh bergerak bila ianya digerakkan, sebegitu jugalah taraf dan kedudukan diri kita selaku seorang hamba Allah, selaku abdi dan selaku kuli yang fakir. Sudah tentu tidak layak menjadi saksi dan bersaksi dengan Allah, dalam melafazkan kalimah syahadah.

Yang melafazkan ucapan kalimah syahadah itu, adalah diri rohani (roh) yang berkedudukan tinggi dan bukannya lafaz dari sifat anggota diri jasmani yang berkedudukan rendah lagi kotor, apa lagi dari seorang diri yang tidak kenal diri dan mengenal Allah. Diri jasmani tidak ubah seumpama diri orang mati, yang tidak berkuasa melafazkan kalimah Allah Yang Maha Tinggi. Yang akan menyambut kalimah itu  nantinya, adalah dari kalangan yang tinggi-tinggi kedudukannya. Apabila yang menyambutnya berkedudukan tinggi, semestinya yang melafazkannya juga, seharusnya dari kalangan yang berkedudukan tinggi juga. Rohani (roh) kitalah sebenarnya yang melafazkan kalimah syahadah Yang Maha Tinggi itu.

Kalimah syahadah yang kita lafazkan itu, apakah bukan sekadar main-main atau sekadar lafazan dari seekor burung tiung atau dari bibir mulut seorang yang hanya tahu menyebut sahaja?. Apabila kedudukan yang melafaz itu berada pada kedudukan tinggi, barulah yang berkedudukan tinggi juga akan menyambutnya. Yang menyambut syahadah kita itu adalah Allah sendiri.

Setiap kali syahadah yang disebut, setiap kali itu juga bergegarnya tiang arash. Seandainya tiang arash Allah yang menjadi pasak bumi boleh bergegar bila mengucapkan kalimah syahadah, inikan pula hati kita yang lembut. Sudah tentu gegaran, getaran serta sentuhan lafaz kalimah syahadah itu, teramat hebat menerjah ke dinding hati.

Tidak ada yang dapat mengegarkan tiang arash Allah, melainkan kalimah syahadah.  Letupan gunung berapi dan laungan malaikat Israfil semasa meniup trompet sangka kala di hari kiamat, tidak sediki tpun dapat mengegarkan tiang arash, melainkan hanya kalimah syahadah dari hamba-hambaNya yang mengenal Allah. Begitulah besar, tinggi, hebat serta dahsyatnya ucapan kalimah syahadah itu, bila ianya dilafaz dengan pengetahuan ilmu mengenal Allah, sehingga ianya dapat mengegar dan mengoncang pintu hati dengan rasa yang amat hebat dan dahsyat. Kalimah syahadah yang keluar dari peti suara kita, janganlah sama dengan suara   yang keluar dari peti radio kaset atau dari peti suara seekor burung tiung. Untuk membezakan lafaz kita itu, berbeza dengan lafaz kanak-kanak yang belum akil baliqh atau lafaz burung tiung, kita hendaklah mengenal diri (roh) dan mengenal Allah. Barulah lafaz kita itu, benar-benar lafaz kalimah syahadah yang sebenar-benarnya berbeza dari mereka yang tidak mengenal Allah. Barulah lafaz syahadah kita itu ada saksi, bersaksi dan ada yang menyaksikannya.

Kalimah syahadahlah yang menentu dan membezakan apakah kita itu, benar-benar seorang Islam atau tidak. Apabila benar dalam bersyahadah, maka akan benarlah dalam sembahyang dan benarlah juga menjadi seorang Islam muslim  yang beriman.

Yang bersyahadah, yang berjanji dan yang bersaksi itu adalah roh. Yang menjadi saksi dan yang menerima penyaksian kita itu, adalah Allah sendiri, tanpa ada makhluk perantaraan. Manakala anggota tubuh dan makhluk sekalian alam ini, hanya bertindak selaku pemerhati  dan selaku menyaksikannya sahaja. Ingat itu!.

Sungguhpun begitu, tuan-tuan harus ingat, pengajian ilmu syahadah belum tamat dan belum putus disini!.  Tangga pengajian sebagaimana saya nyatakan diatas dan sebagaimana saya nyatakan dalam kitab pertama (mengenal makrifat atau mengenal Allah) itu, belum tamat dan belum putus. Pengajian dalam kitab pertama atau pengajian ilmu syahadah sebagaimana saya hujahkan diatas, itu adalah pengajian ilmu bagi mereka-mereka yang duduk pada anak tangga syariaat atau tangga torikat!. Penerangan ilmu pada peringkat itu, hanya baru berlegar dalam lingkungan  ilmu feqah. Saya belum sentuh lagi syahadah dalam bentuk ilmu hakikat dan makrifat!.  Manakala dalam kitab ketiga ini, akan saya nyatakan syahadah yang lebih tinggi!, menurut saluruan, menurut sudut pandang atau menurut kefahaman  ilmu hakikat dan makrifat!.


Soal:  Bagaimana hakikat syahadah menurut sudut pandang ilmu makrifat?.
Jawab: Tuan-tuan dan puan-puan yang dirahmati Allah sekalian. Lafaz syahadah yang sebenar mengikut sudut pandang ilmu hakikat itu, bukan lagi terletak pada saksi, diperaksi atau meyaksi lagi!. Sebutan bersaksi, saksi dan meyaksikan itu, adalah syahadah yang berada pada anak tangga ilmu syariaat. Iaitu sebutan atau lafazan yang terbit, yang keluar dan yang terzahir di bibir mulut itu, adalah sekadar bunyi yang keluar dari suara halkum!. Syahadah diperingkat ilmu syariaat itu, adalah syahadah lafah yang keluar bertujuan untuk meletakkan suara menjadi saksi!. Sedangkan suara tidak boleh menjadi saksi!. Kebanyakkan kita, secara tidak sedar dan secara tidak sengaja, telah meletakkan suara bagi menjadi saksi, bersaksi dan meyaksikan dalam bersyahadah!.


Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang Feqah (syariaat) atau syahadah orang awam?
Jawab: Orang syariaat menyebut kalimah syahadah “aku bersaksi atau aku naik saksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah”. Pada peringkat permulaan (peringkat syariaat), sebagaimana dinyatakan didalam kitab pertama  ( Kitab Mengenal Makrifat), pengarang telah meletakkan adanya   perkara bersaksi,  saksi dan meyaksikan. Iaitu roh itu bersaksi, Allah itu saksi dan tubuh badan sebagai meyaksi.


Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang torikat;
Jawab: Adapun syahadah peringkat orang hakikat bilamana melafaz perkataan syahadah itu, adalah lafazan yang disertai dengan “mengetahui”. Bukan syahadah yang berpaksi kepada ikar mulut, bukan berpaksi kepada bersaksi, bukan berpaksi kepada meyaksi dan tidak berpaksi kepada disaksikan!, tetapi berpaksi kepada mengetahui!.

Bilamana tingkatan ilmu sudah sampai kepada tangga hakikat, sudah tentu lafaz syahadah kita memberi pengertian yang lebih tinggi, berbanding tahao syariaat. Orang syariaat berpaksi kepada “suara atau kepada bunyi”, manakala orang torikat melafas kalimah syahadah pula, adalah berpaksi kepada “megetahui”, aku mengetahui bahawa Allah itu, adalah Allah”.


Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang hakikat dan makrifat;
 Tidak perlu kepada bersaksi, saksi dan tidak perlu lagi kepada peyaksian!. Tidak perlu lagi kepada apa-apa. Tidak perlu kepada perkara suara dan tidak perlu kepada perkara mengetahui. Syahadah makam orang hakikat dan orang makrifat itu, bukan lagi berhajat kepada niat “aku naik saksi” bahawa tiada Tuhan lain selain Allah tetapi lebih berhajat kepada “aku mengetahui” bahawa Allah itu, adalah
Allah!.
Orang hakikat atau orang makrifat itu, makam syahadahnya bukan lagi duduk pada sebutan mulut atau niat hati tetapi duduk kepada daripada Allah kepada Allah sendiri. Syahadahnya mereka-mereka yang mengenal Allah itu, adalah syahadah yang disertai dengan perkara “rasa”. Mereka-mereka yang mengenal Allah (makrifatllah) itu, tidak lagi perlu saksi, bersaksi atau meyaksi lagi. Bagi mereka-mereka yang sudah tamat dan sudah khatam dalam bidang ilmu makrifat itu, tidak ada lagi berdalil dengan mulut, suara, saksi, bersaksi atau meyaksikan!.

Cukuplah Allah itu, adalah Allah. Allah bagi orang makrifat itu, teramat jelas, terang dan teramat nyata, yang tidak perlu lagi berdalil dengan yang lain selain Allah!. Apa yang hendak saksi meyaksikan lagi, bukankah Allah itu nyata!. Setelah nyatanya Allah itu senyata-nyatanya, apakah masih masih memerlukan kepada saksi dan yang memerlukan kepada peyaksian  lain?.

Mereka-merea yang belum nyata Allah sahaja, yang masih lagi nak diadakan dalil–dalil lain, yang masih nak disaksi atau yang terpaksa dibenar, terpaksa disah atau terpaksa diiakan oleh orang lain. Apakah tidak cukupkah Allah yang membenarkan ucapan kita?. Terjemahan sebenar kalimah “La Ila haillah” itu, adalah bermaksud “Aku mengetahui  tiada lain melainkan hanya Allah”. Jika tidak kita faham dan tidak kita ketahui  makna di sebalik maksud, seberapa banyak sekalipun kita menyebut perkataan bersaksi atau  kita menyebut perkataan naik saksi, tidak bermakna kita sudah bersyahadah!. Lafaz syahadah kita itu, hanyalah sekadar lafaz di bibir yang berangan-angan atau khayalan akal semata-mata!.

Lafaz syahadah dalam keadaan tidak mengetahui, adalah lafaz yang tidak terlafaz atau ucap yang tidak terucap. Syahadah dari bibir mereka-mereka yang dalam berkeadaan hilang ingatan, hilang akal, khayal atau dalam berkeadaan mabuk. Lafaz syahadah dari bibir orang  yang “tidak megetahui” itu, seumpama  garam yang tiada masin!. Lafaz yang tidak diterima Allah s.w.t!.

Maksud atau makna perkataan “mengetahui” itu, adalah merujuk kepada “mengenal”. Sekiranya kita tidak mengenal Allah s.w.t, apa kesaksian yang hendak kita persaksikan atau yang hendak kita  persembahkan kepada Allah s.w.t?. Cuba anda jawab pertanyaan saya?.

Setiap yang bersaksi, hendaklah terlebih dahulu mengenal antara satu sama lain. Sepatutnya yang bersaksi itu, mengenal dengan yang menyaksikannya!.  Sekiranya saksi tidak kenal kepada yang menyaksi dan yang menyaksi pula tidak mengenal kepada yang bersaksi, apakah ertinya bersyahadah?. Di antara mereka saling tidak kenal-mengenal di antara satu sama lain, apa yang hendak kita persaksikan?.



Kefahaman Mengenai Peyaksian Atau Kesaksian Semasa Bersyahadah Dua Kalimah Syahadah, Mengikut Suluhan Ilmu Makrifat

 Bagi mereka-mereka yang sudah mengenal diri dan mengenal Allah, tidak ada lagi perkara saksi, perkara bersaksi atau perkara menyaksi.

Diri kita, adalah sifat yang bersifat dengan sifat lebur, sifat binasa dan sifat tidak ada!. Bilamana segalanya sudah lebur, sudah binasa dan sudah fana, apakah lagi yang tersisa atau terbaki pada kita?. Setelah tidak ada lagi yang tersisa, tidak ada yang berbaki dan tidak ada yang tertingggal, apa lagi dan siapa lagi yang hendak meyaksi atau bersaksi?.

Sebagai makhluk, kita adalah bersifat dengan sifat binasa. Setelah binasa segala sifat makhluk, mana adanya lagi kita?. Setelah diri kita semuanya tidak ada, siapa lagi yang hendak meyaksi dan siapa lagi yang hendak bersaksi?. Cuba jawab?……………….

Setelah kita tidak ada dan setelah sifat kita binasa, siapa lagi yang hendak menjadi saksi?. Seandainya tidak ada saksi, mana mungkin untuk menyaksikan kesaksian!. Saksi itu roh dan yang bersaksi itu tubuh badan (bibir mulut), manakala yang menyaksikan kesaksian kita itu, adalah Allah s.w.t. Setelah roh dan setelah segala anggta tubuh badan kita telah selamat kita kembalikan kepangkuan Allah (mati sebelum mati), apa lagi yang hendak Allah tageh dari kita dan apa lagi yang hendak Allah tuntut atas kita?.

Cuba jawab pertanyaan saya, setelah segalanya (jiwa dan raga) telah tidak ada (semua telah kembali menjadi milik Allah). Apakah lagi yang hendak Allah tuntut?…………………………………

Seandainya sifat tubuh badan dan roh kita binasa, kemana lagi hendak kita hadapkan penyaksian kita?.  Itulah makanya bagi mereka yang sudah sampai kepada tahap makrifat, tidak ada lagi yang menjadi saksi, tidak ada lagi yang bersaksi dan tidak ada lagi yang menyaksi!…………………………..

Melainkan yang ditilik itu, adalah juga yang menilik, yang dililhat itu, adalah yang yang melihat, yang dipanggil itu, adalah juga yang memanggil dan ya meyembah itu adalah juga yang disembah!……………………..

Seumpama sifat garam sudah kembali pulang kedalam sifat masin. Tidak ada lagi sifat garam melainkan segala-galanya masin belaka!. Setelah segala-galanya masin, maka hilanglah ketulan garam dan leburlah sifat garam kedalam masin!. Setelah hilangnya garam dan setelah segalanya masin, siapa lagi yang hendak menyaksi siapa?. Cuba jawab?………………………..

Inilah yang dikatakan tangga atau martabat pelajaran ilmu makrifat!. Bicara ilmu makrifat ini, nampaknya seperti kasar, biadap atau bahasa yang tidak bersopan, tetapi inilah kenyataan dan inilah sebenarnya ilmu makrifat dan inilah cara kita bersyahadah yang sebenar-benar syahadah!. Selagi tidak binasa, tidaklah ia bersyahadah, melainkan sekadar angan-angan atau melainkan hanya sekadar hayalan atau mainan akal atau dalam bahasa orang sekarang menyebut dengan perkataan “syok sendiri”.

Bersaksi itu, bilamana ada dua sifat wujud. Iaitu bilamana wujud aku dan wujud Dia!. Setelah wujud diri yang bersifat majazi itu lebur, mana ada lagi wujud yang lain selain wujud hakiki (iaituAllah s.w.t)!. Maka yang lain akan dengan sendirinya menjadi lebur musnah, bilamana penglihatan mata hati terpandang akan wujudnya Allah s.w.t!.

Erti wujud itu, bermaksud ada. Sifat ada itu, adalah hanya bagi Allah s.w.t. Makhluk itu, adalah bersifat dengan sifat binasa!.  Setelah makhluk bersifat binasa, mana ada lagi wujudnya makhluk. Setelah tidak wujudnya makhluk, di situlah baru timbulnya sebenar-benar yang dikatakan Allah s.w.t itu wujud dengan sendiri. Tidak berkongsi wujudnya Allah s.w.t itu, dengan wujud yang lain selain dari Dia.

Bilamana sampainya kita kepada tahap itu, barulah boleh dikatakan bahawa saksi itu Dia, yang bersaksi itu Dia dan yang menyaksi pun Dia. Dialah seDia-Dianya. Allahlah seAllah-Allahnya Allah!. Tidak adalah yang wujud, yang ujud dan yang maujud di alam ini, selain Allah. Allah itulah Allah, Allah, Allah……………..

Inilah syahadah yang sebenar-benar syahadah, pengakuan yang sebenar-benar pengakuan dan tauhid yang sebenar-benar tauhid!. Pengakuan yang bukan sahaja putus setakat di bibir mulut, tetapi pengakuan yang beserta dengan tasdik hati yang ikhlas, jujur dan benar!.  Yang boleh dikatakan tasdik hati (pengakuan hati) yang ikhlas, benar dan jujur itu, adalah setelah kita campakkan garam ke dalam sifat masin. Campakkan diri kedalam lautan fana’ dan baqa’ Allah.


 


Apa Makna Dan Apa Gunanya Kita Naik Saksi, Jikalau Tidak Mengenal Siapa Saksi Dan Siapa Yang Meyaksi? (apa guna bersaksi, jika tidak mengenal Allah)!.

 Sekiranya anda masih tidak faham apa itu maksud saksi dan apa itu maksud yang menyaksi, mari ikut saya. Saya bawa anda masuk sekejap ke dalam mahkamah!. Saya mahu anda menjadi seorang saksi dalam satu kes rompakan bersenjata yang mendatangkan kematian. Secara kebetulan, anda melihat dan menyaksikan rompakan tersebut dengan mata kepala sendiri. Sebagai saksi, tuan hakim meminta anda mengenal pasti pelaku yang melakukan rompakan.

Hakim mengumpulkan beberapa orang suspek untuk anda kenal pasti, yang mana satukah perompak yang benar-benar melakukan rompakan tersebut. Cuba tuan-tuan jawab soalan saya, bagaimana sekiranya anda tidak dapat cam atau tidak dapat untuk mengenal pasti pelaku yang melakukan rompakan tersebut. Bolehkan anda disebut atau dipanggil sebagai seorang saksi?. Sebagai seorang saksi itu, hendaklah mengenal orang yang disaksikannya!.

Begitu juga halnya dalam soal kita berkalimah syahadah.  Kita mengaku untuk naik saksi bahawasanya tidak ada Allah lain selain Allah!. Cuba tuan-tuan jawab pertanyaan saya, bila masanya anda mengenali Allah s.w.t?.  Bila masanya anda pernah melihat Allah s.w.t?. Sekiranya anda belum pernah melihat Allah dan belum pun pernah mengenal Allah, bagaimana anda hendak menjadikan diri anda itu sebagai seorang saksi, sekiranya anda sendiri belum pernah menyaksikannya.

Seorang saksi yang belum pernah dipersaksikan (belum pernah diperlihatkan), mana mungkin dapat menjadi saksi bagi menyaksikan suatu kesaksian?. Cuba jawab, cuba jawab dan cuba jawab dengan hati yang jujur?.  Boleh atau tidak?. Jika jawapannya memihak kepada tidak, bagaimana kesaksian anda terhadap kalimah syahadah yang anda sendiri sebut dan yang anda sendiri lafazkan?. Tidakkah itu satu pembohongan atau satu penipuan?. Anda adalah seorang makhluk pendusta!.

Dusta pada Allah s.w.t, dusta pada pandangan masyarakat dan dusta juga kepada diri sendiri!. Apakah ertinya tuan-tuan dan puan-puan sebagai hamba Allah s.w.t yang berpaksi kepada kalimah syahadah?. Cuba jawab kepada diri sendiri!.





 Kefahaman Syahadah Itu, Bukan Mengikut Sebagaimana Kefahaman Akal!


Maksud atau makna mengenal itu pula, adalah merujuk kepada kefahaman Allah s.w.t, bukan datangnya dari kefahaman atau pengertian khayalan akal atau angan-angan!.  Setelah mengenal Allah s.w.t, barulah terbitnya perkataan sebutan bibir yang disertai dengan perkara “rasa“. Perkataan rasa itulah maksud mengetahui. Lafaz dengan mengetahui itulah, baru sah melafazkan kalimah syahadah.

Mari kita sama-sama melafazkan dua kalimah syahadah dengan mengetahui Allah s.w.t, bukannya dengan pengetahuan kita!. Untuk melafaz sambil mengetahui Allah s.w.t, terlebih dahulu harus kita faham apa itu pengertian perkataan “aku”!.

Bilamana menyebut perkataan “aku”, rujuklah kepada Allah s.w.t. Perkataan “aku” di situ,  bukannya merujuk kepada diri kita!. Diri kita bersifat tidak mengetahui. Hanya Allah s.w.t sahaja yang bersifat tahu dan mengatahui!. Bilamana menyebut perkataan “Aku mengetahui”, rujuklah bahawasanya yang mengetahui itu, adalah sifat Allah s.w.t. Allah itu, tiada lain selain Allah!. Aku itu, adalah Aku. Allah itu, adalah Allah!.

Selagi kita mengaku bahawa kita yang mengetahui dan kita yang tahu, berertinya kita belum lagi bersyahadah. Perkataan “Aku mengetahui” itu, adalah merujuk kepada Allah s.w.t. Yang mengetahui itu hanya Allah s.w.t!. Bilamana kita melafaz, tasdiklah di dalam hati dan ingatlah dengan perasaan akal yang lemah itu, bahawasanya yang boleh   mengetahui akan syahadah kita itu hanya Allah s.w.t. Yang mengerti dan yang faham akan syahadah kita itu, hanya Allah s.w.t. Setelah kita faham maksud mengetahui Allah s.w.t, barulah boleh kita tambah dengan perkataan aku bersaksi atau aku naik saksi. Sesudah kita faham akan duduknya makna yang tersirat itu, sebutlah apa sahaja perkataan yang terlafaz oleh bibir, ia tidak lagi memberi bekas. Kerana yang memberi bekas itu, adalah hanya Allah s.w.t.

Cakaplah apa pun yang kita sanggup cakap, ianya tidak sedikit pun memberi bekas kepada Allah s.w.t, kerana yang terlafaz, terucap dan terluah dari bibir itu, adalah dengan mengetahui Allah(dalam ilmu Allah)!.

Orang yang dalam berkeadaan tidak mengetahui itu, adalah sama dengan orang yang dalam berkeadaan mabuk, lalai, hilang akal atau hilang ingatan. Tidak tahu dari apa yang dilafaz atau tidak tahu dari apa yang diperkatakan. Sekadar sedap mulut untuk berkata!. Sekiranya sekadar sedap mulut, budak kecil atau kaset pun boleh mengucap sebagaimana lafaz  bibir mulut tuan-tuan!.

Apakah itu yang dimaksud atau yang ditakrifkan oleh syarak?. Mengucap sekadar lepas dari bibir, apakah itu yang disarankan oleh agama kita?. Cuba jawab pertanyaan saya. Jika tidak betul dari apa yang saya sangkakan, cuba anda ceritakan bagaimana lafaz syahadah yang sebenar?. Cuba anda jelaskan, apa yang hendak dinafi dan apa yang hendak diisbatkan.