bena sekolah

bena sekolah

Sabtu, 16 Mei 2015

CIRI-CIRI SEBUAH NEGARA ISLAM MENURUT HUKUM SYARAK

CIRI-CIRI SEBUAH NEGARA ISLAM MENURUT HUKUM SYARAK


 
بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية: 102


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Negara Islam ialah sebuah negara ideologi yang ditegakkan dengan berpandukan kepada asas akidah Islam (Abdul Karim Zaidan, Majmu’ah Buhuth Fiqhiah). Di samping itu, negara Islam atau “Dar al-Islam”  dapat diperjelaskan lagi sebagai negara yang melaksanakan undang-undang dan hukum-hukum Islam serta berada di bawah kekuasaan dan pemerintahan orang Islam. Ini termasuklah menjamin wilayah yang bebas dan selamat untuk seluruh rakyatnya. Oleh yang demikian, pemerintahan adalah satu cara yang terbaik dalam menyempurnakan kebajikan manusia melalui pengurusan dan pentadbiran yang cekap dan telus.
Pembentukan negara Islam adalah suatu tuntutan dalam Islam. Ia termasuk dalam perkara tuntutan  Fardu Kifayah. Kepentingan tentang pembentukan negara Islam ada kaitannya dengan perlaksanaan syariah, karena syariah tidak dapat dilaksanakan tanpa ada negara dan kedaulatan politik. Tuntutan perlaksanaan syari‘ah  adalah wajib ke atas Muslim, maka mewujudkan negara Islam adalah suatu yang wajib. Dalam kertas kerja ini perbincangan akan ditumpukan kepada perkara berikut; pengenalan negara Islam, sumber otoritas pembentukannya, syarat-syarat Kepala Negara Islam, pemilihan Kepala Negara, Kewarganegaraan negara. Istilah Negara Islam “al-Dawlah Islamiyyah” atau “al-Hukumah al-Islamiyyah” tidak didapati penggunaannya dalam Quran. Istilah ini merupakan satu istilah baru yang mula diperkenalkan oleh Muhammad Rashid Rida dalam bukunya, “Caliphate and the Great Immate” (1). Sungguhpun begitu dalam Qur’an terdapat istilah-istilah lain yang bisa menjadi asas kepada persoalan ini separti istilah khalifah, khulafa’ atau khala’if (2) dan juga istilah imam (3), yang secara umumnya memberi pengartian sebagai pengganti Allah atau khalifah Allah di bumi atau kepimpinan yang terbatas maksudnya untuk perkataan imam





PEMBAHASAN
A.    Ciri-ciri Negara Islam
Sebuah negara barulah absah disebut Negara Islam (Darul Islam) ketika telah memenuhi dua syarat: (1) hukum yang diterapkan di negara tersebut adalah hukum Islam; (2) kekuasaan (pemerintahan) di negara tersebut dikendalikan dan dipimpin sepenuhnya oleh kaum Muslim. Dengan demikian,pengkategorian Negara Islam atau negara kafir tidak didasarkan pada seberapa banyak jumlah penduduk Muslim atau kafir yang ada di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh hukum yang diterapkan dan kekuasaan yang mengendalikan negara tersebut.
a.       Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadist nabi
b.      Penegasan akan hak untuk mengadakan analisa yang mandiri (ijtihad) tentang Al- Qur’an dan Sunnah, dari pada harus bersandar dan meniru pendapat dari generasi tokoh dahulu yang berpengetahuan tinggi tentang islam atau ( taqlid)
c.       Penegasan kembali keaslian dan keunikan Al- Qur’an , yang berbeda dengan lainnya.
 
B.     Negara-negara Islam
Adapun Negara- Negara yang termasuk Negara islam adalah awalnya Turki berasaskan islam ketika masih dibawah Turki Usmani selama enam ratus tahun , kemudian dengan datangnya Mustafa Kemal maka telah merubahnya menjadi Negara yang Republik yang masih berasaskan islam , namun dengan perkembangan selanjutnya maka Negara tersebut berubah menjadi Negara sekuler hingga saat ini. Selain itu Mesir, Iraq (termasuk Negara demokrasi- sosialis), Arab Saudi ( monarki dan rajanya selain sebagai pemimpin politik juga memimpin agama dan menggunakan syariat islam sebagai hokum yang berlaku bagi kerajaannya), Pakistan ( Republik Islam Pakistan), Malaysia.
Menurut tokoh- tokoh PSII, dalam Negara Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat, dimana pemerintahan bertanggung jawab terhadap rakyat melalui wakil- wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), merupakan system yang islami. Hal ini berdasarkan pendapat Masyumi, NU, PSII, dan Perti,tentang system pemerintahan yang paling dekat dengan ajaran islam adalah system demokrasi, tetapi empat partai tersebut baik secara eksplisit maupun implisit berpendirian bahwa kedaulatan rakyat itu tidak mutlak dan bukan tanpa batas. Keinginan dan keputusan rakyat atau wakil- wakil mereka antara lain tidak boleh bertentangan dengan ajaran atau hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dasar Argumentasi 
Pertama: realitas negeri Makkah dan Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah dan seluruh dunia adalah darul kufur. Setelah Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya hijrah ke Madinah dan menegakkan Daulah Islamiyah di sana, maka terwujudlah Darul Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Adapun Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus darul kufur. Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Darul Islam dan darul kufur. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni shalat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Makah; itu pun harus seijin orang-orang kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri; mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir. Karena itulah, Makkah disebut dengan darul kufur. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim. Kedua: bukti lain yang mendukung pasal di atas adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi SAW. pernah bersabda:
  أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ
      الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ

Artinya :
Serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin (HR Muslim).
Darul Muhajirin pada riwayat di atas adalah sebutan untuk Darul Islam pada masa Rasulullah saw. Manthûq hadis di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para Sahabat untuk memerangi negeri-negeri yang tidak berada dalam kekuasaan kaum Muslim meskipun di negeri tersebut telah tampak sebagian syiar Islam. Adanya azan di wilayah tersebut menunjukkan dengan jelas adanya syiar agama Islam. Hanya saja, Nabi saw. dan para Sahabat tetap memerangi wilayah tersebut karena kekuasaan negeri tersebut tidak berada di bawah kendali penguasa Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Darul Islam adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum Islam, sementara jaminan keamanannya ditanggung dan dikendalikan sepenuhnya oleh kaum Muslim; tanpa memperhatikan lagi komposisi penduduk Muslim dan kafirnya.
Pendapat Ulama Mengenai Negara Islam dan Negara Kafir
Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase dâr al-kufr juga merupakan istilah syar’i yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan Darul Islam. Begitu pula istilah dâr al-kufr, dâr as-Syirk dan dâr al-harb; semuanya adalah istilah syar’i yang maknanya sama untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (Darul Islam).
Istilah dâr al-Islâm dan dâr al-kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan atsar para Sahabat.
Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi SAW. bahwa beliau pernah bersabda, “Semua hal yang ada di dalam Darul Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.”  Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Darul Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Darul Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk darul kufur, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya.
Di dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hijrah. Di dalam surat itu tertulis: Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Darul Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw. adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.” Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Darul Islam dan darul al-kufur. Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. Imam al-Kasai, di dalam kitab Badâi’ ash-Shanai’, mengatakan: Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa darul kufur (negeri kufur) bisa berubah menjadi Darul Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Darul al-Islam, kapan ia bisa berubah menjadi darul al-kufur?  Abu Hanifah berpendapat, Darul al-Islam tidak akan berubah menjadi darul al-kufur kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. 
1.      Pertama: telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di dalamnya.
2.      Kedua: meminta perlindungan kepada darul kufur.
3.      Ketiga: kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali, yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim.
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, “Darul al-Islam berubah menjadi darul kufur jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.  Di dalam hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu ‘Abidin atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr disebutkan: Darul Islam tidak akan berubah menjadi dâr al-harb….(karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Darul Islam berubah menjadi dar al-harb jika telah memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas
Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar: Barangkali buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori Darul Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk Darul Islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Darul Islam, tetapi dâr al-harb. Sebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam.
Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’di Abu Habib menjelaskan tentang Darul Islam dan dâr al-harb sebagai berikut: Menurut pengikut mazhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Darul Islam menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah.
Adapun menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, “Darul Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.”
Abdul-Qadir Audah menyatakan: Darul Islam adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu. Termasuk Darul Islam setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Juga termasuk Darul Islam setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Darul Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non-Muslim, namun penduduknya yang Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satu pun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam.
Di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, “Darul-Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut: Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Darul Islam dan negeri itu telah berubah dari darul kufur menuju Darul Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi darul kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah darul kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk darul kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk darul al-kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam.
Suatu negeri juga tetap disebut darul kufur seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul kufur. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling râjih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Darul Islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim.
Sistem Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan adalah satu sistem pelaksanaan terhadap dasar dan undang-undang sesebuah Negara. Asas pembentukan sesebuah Negara ialah, bangsa, tanah yang didiami dan kuasa yang memerintah. Negara Islam pula adalah sebuah Negara yang menjadikan Syariat Islam sebagai satu-satunya sumber perundangan. Manakalah Negara yang tidak menjadikan Syariat Islam sebagai sumber perundangan, maka ia bukanlah sebuah Negara Islam. Sebuah Negara Islam perlulah diperintah melalui sistem pemerintahan Islam. Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam adalah unik dan berbeza dengan mana-mana sistem pemerintahan yang ada, sekalipun mungkin kita dapati terdapat beberapa persamaan dengan sistem yang lain dalam cabang-cabang kecil. Ini karana sistem ini adalah syariat Allah SWT yang disyariatkan untuk kebahagiaan keseluruhan manusia.
Antara asas sistem pemerintahan Islam adalah:
1-        Ketuanan adalah hak Allah SWT. Ini bererti bahawa pemerintah tidak berhak mencipta syariat atau undang-undang, bahkan tugas mereka adalah untuk memastikan pelaksanaan hukum Allah SWT. Firman Allah SWT: “Dan hendaklah kamu memerintah mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah”. Surah al-Maidah : 49. Banyak ayat suci al-Qur’an yang menegaskan demikian, bahkan tidak meletakkan ketuanan kepada hukum Allah adalah lambang keengkaran (kufur), kezaliman dan kejahatan (fasiq). Firman Allah: “Dan sesiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”. Surah al-Maidah : 44. Dalam surah yang sama, ayat 45 “mereka adalah orang-orang yang zalim”, dan pada ayat 47: “ mereka adalah orang-orang yang fasiq”.
2-        Kekuasaan adalah milik ummah. Ini kerana umat Islamlah yang diwajibkan membawa risalah Islam dan melaksanakannya. Dan kuasa mereka tampak jelas, kerana merekalah yang wajib memilih dan melantik seorang ketua yang berjanji setia (bai’ah) untuk beramal dengan hukum Allah SWT dan sunnah NabiNya. Seorang ketua merupakan pengganti kepada ummah.
3-        Hanya seorang ketua untuk umat Islam (biasanya dipanggil sebagai Khalifah). Umat Islam dilarang untuk melantik ramai ketua dan berpecah menjadi negara-negara yang kecil. Sabda Nabi s.a.w. “Bila diberikan bai’ah kepada dua orang khalifah, maka bunuhlah orang yang kedua daripada mereka”. Riwayat Muslim. Realiti yang berlaku sekarang sebenarnya bercanggah dengan tuntutan Islam, dan kaum muslimin hendaklah berusaha ke arah kesatuan keseluruhan umat Islam di dunia, supaya mereka menjadi umat yang gagah dan disegani sebagaimana dalam Sistem Khilafah Islam yang lepas.
Tujuan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Islam
Antara tujuan pelaksanaan sistem pemerintahan Islam disamping ia adalah pengabdian kepada Allah SWT dengan memberikan ketuanan hanya kepada Allah SWT ialah:
1- Menegakkan keadilan dengan penuh kesempurnaan, samada keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan pentadbiran dan politik, serta keadilan dalam sistem. Menegakkan keadilan merupakan faktor yang paling penting dalam kesinambungan sesebuah Negara, dan dalam Islam ia merupakan tugas yang paling utama bagi seorang Khalifah.
2-Memberikan kemaslahatan kepada ummah. Kerana inilah telah masyhur satu kaedah politik Islam, iaitu “Tindakan Imam (Pemerintah, Kahlifah) mestilah didasarkan kepada kemaslahatan (kepentingan) rakyat”. Dan kemaslahatan manusia keseluruhannya sebenarnya berada Syariat Allah SWT.



Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Islam
Antara ciri yang perlu ada dalam sistem pemerintahan Islam ialah:-
1-  Keadilan. Memandangkan tujuan uatama sistem pemerintahan Islam ialah menegakkan keadilan, maka sudah tentu ciri utama sistem ini ialah keadilan. Jika pemerintah melakukan kezaliman, maka sebenarnya dia telah lari daripada landasan sebenar sistem pemerintahan Islam, dan rakyat berhak menegurnya, bahkan memecatnya.
2- Syura (Permesyuaratan). Ia bererti bahawa kaum muslimin (pemerintah dan rakyat) hendaklah saling berbincang mencari keputusan dan pendapat yang terbaik dalam perkara yang tiada nas. Dan keputusan yang dibuat pula janganlah berlawanan dengan kehendak Syariat Islam. Perintah syura ini terdapat dalam al-Qur’an dan juga praktikal amali Rasulullah S.A.W. Ia merupakan satu perancangan yang teliti sebelum pelaksanaan sesuatu ketetapan dari pihak pemerintah.
3- Kepatuhan. Ini bererti warganegara Negara Islam hendaklah patuh kepada Negara (pemerintah) dan menyahut serta melaksanakan perintah dan tuntutan Negara. Kepatuhan kepada Negara ini merupakan satu kewajiban, tetapi diikatkan dengan syarat “tiada ketaatan dalam perkara yang bercanggah dengan Syariat Islam”. Dan bila arahan yang dikeluarkan bercanggah dengan Islam, maka rakyat tidak perlu mentaatinya, bahkan wajib menasihati pemerintah.




PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembentukan sesebuah negara Islam tidak wajar dipisahkan dalam arus permodenan yang sedang membangun. Ini kerana prinsip, dasar dan struktur negara Islam adalah ketetapan Allah dan ia merupakan aspek-aspek syariat Islam yang lengkap dan syumul untuk dilaksanakan tidak kira masa, tempat dan sesiapa pun. Oleh yang demikian, negara Islam berperanan besar dalam menentukan hala tuju dan masa depan negara di samping membentuk masyarakat yang mempunyai keseimbangan antara tuntutan ukhrawi dan tuntutan duniawi. Sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah jika suatu Negara tidak mampu mempertahankan integritas Negara, maka sungguh amat sulit menjamin terlaksananya undang- undang. Situasi yang semacam ini juga akan mengakibatkan warga Negara yang tidak mampu merealisasikan kemampuan baik dalam Negara dan beribadah dalam rangka maelaksanakan wahyu Allah, baik itu ibadah yang bersifat hablum minannas maupun hablumminal Allah. Oleh karena itu hendaknya dalam tata pemerintahan dibarengi dengan berlandaskan kepada Al-qur’an dan Hadist.
Takrif
1. Menurut Syeikh Muhammah Abu Zahrah, negara Islam ialah negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintah Islam, kekuatan dan pertahanannya berada di tangan umat Islam. Negara seumpama ini wajib dipertahankan oleh setiap Muslim.
2. Imam Al-Fahistani dari mazhab Hanafi menyatakan negara Islam ialah negara yang melaksanakan hukum Islam dan berkuat kuasa ke atas rakyatnya.
3. Menurut Imam Al-Shafie, mana-mana negeri yang pernah menjadi negara Islam, status negara Islam tidak akan hilang berdasarkan hukum Islam sekali pun umat Islam telah dijajah di negara berkenaan. Ini bermakna bahawa negara-negara Islam yang berada di bawah pemerintahan komunis dan juga kuasa-kuasa lain adalah dianggap sebagai negara Islam yang dijajah dan menjadi kewajipan umat Islam membebaskannya apabila mereka mampu.
4. Dr. Said Ramadhan Al-Buti telah menjelaskan persoalan negara Islam di dalam Kitabnya Al-Jihad Fi Al Islam bahawa negara Islam adalah seperti yang telah disepakati oleh Imam-Imam Mazhab Empat, iaitu negeri atau negara yang berada di bawah kekuasaan umat Islam dan kedaulatan mereka dan dengannya umat Islam dapat mengamalkan Islam secara terbuka dan mampu mempertahankan diri dari serangan musuh. Kemasukan tersebut berlaku melalui peperangan, perdamaian dan sebagainya.
5. Perbezaan pandangan para ulama’ dalam mentakrifkan negara Islam, namun perbezaannya hanya dari segi susunan lafaznya sahaja. Kesemua takrif tersebut difahami dalam satu makna yang disepakati oleh semua ulama’, iaitu orang Islam mempunyai kedaulatan ke atas diri mereka di negara berkenaan, mereka boleh menegakkan hukum-hukum dan syiar-syiar Islam di dalamnya.
6. Antara hukum-hukum yang berkaitan dengan negara Islam –
a)  wajib mempertahankan dan melaksanakan hukum Islam di dalamnya; dan
b)  ia tidak bertukar menjadi negara kufur atau Dar Al-harb selepas negara Islam.
Tanggungjawab Kerajaan Sebagai Sebuah Negara Islam
13. Dalam kitab-kitab tulisan Abu Yaala dari Mazhab Hanbali dan Al-Mawardi seorang ulama’ terkemuka mazhab Shafie bahawa mereka telah menggariskan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawab sesebuah pemerintahan Islam di dalam kitab masing-masing yang berjudul Al-Ahkam Al-Sultaniyah.
14. Menurut Al-Mawardi secara umumnya tugas pemerintah Islam ialah menjaga kepentingan agama dan mentadbir urusan negara dan umat.
15. Manakala Ibnu Taimiyah pula berpendapat bahawa urusan pemerintahan adalah antara kewajipan agama yang terbesar, malah agama itu sendiri tidak dapat ditegakkan tanpa wujudnya pemerintah.
16. Berdasarkan pandangan Al-Mawardi dalam huraiannya secara terperinci berkenaan dengan tugas-tugas dan tanggungjawab pemerintah adalah seperti berikut:
a) Memelihara agama daripada sebarang pencerobohan dan ajaran yang boleh memesongkan akidah umat Islam seperti yang telah disepakati oleh para ulama’ yang berlandaskan Al Quran dan Hadith.
b) Melantik Jemaah Menteri bagi membantu negara dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, antaranya seperti berikut:
i) Menurut pandangan Al-Mawardi, “Harus melantik orang kafir yang menjadi warganegara Islam (zimmi) sebagai menteri untuk melaksanakan dasar-dasar yang dibuat oleh pemerintah.
ii) Mengenai perlantikan wanita sebagai Menteri dan jawatan awam yang lain, para ulama’ berselisih pendapat. Sebahagian ulama’ seperti Al-Mawardi tidak mengharuskan dan sebahagian ulama’ lain seperti Imam Abu Hanifah dan Ibnu Jarir Al Tabari berpandangan mengharuskan untuk melantik wanita memegang jawatan-jawatan awam kecuali jawatan tertinggi sebagai ketua Negara.
iii) Dr. Ibrahim Abd.Hamid dari Universiti Al-Azhar dalam kajiannya “Nizam Al-Qada Fi Al Islam” telah menyokong pandangan dari Abu Hanifah atas alasan tiada sebarang dalil yang kukuh melarangnya. Bahkan di dalam sejarah Islam, terdapat wanita yang telah dilantik untuk memegang jawatan awam.
iv) Saidina Umar R.A pernah melantik seorang wanita bernama Assyifa’ sebagai ketua perbandaran pada zaman pemerintahannya. Saidatina A’isyah R.H pernah menjadi pemerintah tertinggi satu pasukan tentera yang terlibat dalam peperangan Al-Jamal. Beliau juga adalah seorang ahli ijtihad di kalangan sahabat. (Al Ansari 1980: hlm.303).
c) Menyediakan tentera yang mampu mempertahankan agama dan negara daripada pencerobohan dan menjamin keamanan dalam negara.
d) Mewujudkan sistem kehakiman bagi menyelesaikan pertikaian dan menegakkan keadilan.
e) Mendirikan sembahyang lima waktu, sembahyang Jumaat dan sembahyang hari raya, membina masjid-masjid dan melantik imam-imam. Dalam perkara ini Abu Yaala telah mengkategorikan masjid kepada dua jenis, iaitu –
i) masjid Sultan, iaitu masjid yang terletak di bawah kuasa pemerintah; dan
ii) masjid am, iaitu masjid persendirian.
Bagi masjid Sultan, kuasa melantik imam masjid adalah menjadi hak pemerintah. Dengan itu tidak harus menjadi imam di masjid Sultan melainkan telah dilantik oleh kerajaan.
Menurut Abu Yaala, sekiranya imam rasmi telah selesai menunaikan sembahyang secara berjamaah, tidak harus bagi orang lain, mendirikan Jemaah kerana ditakuti perbuatan tersebut dianggap sebagai satu bentuk tentangan terhadap kuasa pemerintah.
Pandangan ini juga telah disepakati oleh Imam Shafie, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
f) Mengendalikan urusan mengerjakan ibadah Haji.
g) Mengendalikan urusan pemunggutan dan pembahagian zakat seperti perlantikan Amil.
h) Memungut cukai atau hasil daripada sumber-sumber yang ada dalam Negara (Kharaj).
i) Hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan dan pembangunan tanah-tanah (Ihya Al-Mawat).
j) Mewujudkan sistem pertadbiran yang cekap bagi megendalikan urusan-urusan kewangan, harta-harta milik kerajaan, pekerja dan juga pasukan bersenjata.
k) Membenteras jenayah dan mengenakan hukuman terhadap penjenayah dengan hukuman yang sesuai sama ada hudud atau ta’zir.
l)Melaksanakan tugas-tugas hisbah iaitu dikenali sebagai penguatkuasa, tujuannya untuk memastikan supaya adab, akhlak dan syiar Islam serta peraturannya bagi menjamin kesejahteraan masyarakat dapat ditegakkan.
17.  Adalah menjadi tanggungjawab kerajaan Islam untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya terjamin dari segi keselamatan dan kesejahteraan yang menjadi tonggak kepada wujudnya sesebuah negara Islam.
Kerajaan Menurut Hukum Islam
19. Menurut Al-Mawardi, pelantikan ketua negara Islam melalui dua cara, iaitu –
a) melalui pemilihan baiah masyarakat Islam; dan
b) melalui pelantikan oleh pemerintah sebelumnya (Wilayah Al-‘Ahd).
22. Mengenai prinsip pelaksanaan “Syura” yang merupakan salah satu prinsip asas di dalam sistem pemerintahan Islam, menurut Rashid Rida, “Sistem syura ini berbeza mengikut keadaan yang di hadapi oleh sesuatu umat serta perkembangan sesebuah masyarakat kerana dalam perkara seperti ini tidak mungkin ditetapkan kaedah pelaksanaan untuk semua tempat dan masa”.
23. Syeikh Toha Abd. Al-Baqi Surus juga menyatakan “Syura di dalam Islam adalah suatu prinsip yang bersifat am, dan berubah kaedah pelaksanaan mengikut perkembangan sistem tamadun serta kehidupan manusia. Ia boleh dilaksanakan seperti pada zaman permulaan Islam ataupun seperti yang telah dilaksanakan pada zaman ini melalui institusi Parlimen”.
24. Dr. Abdul Hamid Ismail Al-Ansari, menyatakan bahawa Dewan-dewan perwakilan seperti Parlimen yang ada pada hari ini boleh dianggap sebagai “Majlis Syura” dan anggota-anggotanya adalah sebagai ahli Majlis Syura, cara-cara pemilihan yang telah dilaksanakan pada zaman ini adalah sah di sisi Islam.”
25. Mengenai pelantikan atau pemilihan orang bukan Islam sebagai anggota Parlimen atau Dewan Undangan Negeri, beliau berpendapat adalah diharuskan dan pendapat beliau itu tidak dibantah oleh para ulama’ Al-Azhar ketika membentangkan tesis Ph.D beliau.
26. Imam Ahmad ibnu Hanbal menyatakan, “Sesiapa yang dilantik menjadi pemerintah dan  masyarakat bersetuju dengannya, maka ia adalah pemerintah yang sah dan sesiapa yang mendapat kuasa melalui kekuatan (Perang) sehingga berjaya menjadi pemerintah, maka ianya juga adalah pemerintah yang sah”. (Ibn Jauzi-al Manaqib).
27. Imam Ibnu.Taimiyah menyatakan, “Pemerintah yang wajib ditaati adalah pemerintah yang mempunyai kuasa, sama ada ianya adil atau zalim, tetapi tidak wajib taat kepada perintah atau suruhan untuk melakukan maksiat”.
Kewajipan Umat Islam Terhadap Pemerintah
28. Menurut Abu Yaala, apabila pemerintah telah melaksanakan tanggungjawabnya maka kewajipan umat terhadap pemerintah adalah seperti berikut, antaranya –
a)  taat (dalam perkara yang tidak mendatangkan maksiat); dan
b) menolong pemerintah dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
29. Allah S.W.T berfirman dalam Surah Al-Nisa’ ayat 59 bermaksud –
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasullah dan kepada Ulil Amri (orang-orang yang berkuasa) dikalangan kamu.”
30. Dalam Hadith Rasullah S.A.W  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang bermaksud –
“Sesiapa yang taat kepadaku, bererti ia taat kepada Allah, sesiapa yang derhaka kepadaku bererti ia telah derhaka kepada Allah, sesiapa yang taat kepada pemerintah bererti ia taat kepadaku, dan sesiapa yang derhaka kepada pemerintah bererti ia derhaka kepadaku.”.
31. Dalam sebuah Hadith diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bermaksud –
“Sesiapa yang menarik kesetiaannya kepada pemerintah, ia menemui Allah tanpa sebarang hujah, sesiapa yang mati tanpa kesetiaan kepada pemerintah, mati ia seperti dalam jahiliyah (maksiat).”.
32. Dalam sebuah Hadith diriwayatkan oleh At Tabari yang bermaksud –
“Taatilah kepada pemerintah kamu dalam apa jua keadaannya, sekiranya mereka, memerintahkan kamu dengan perintah yang sesuai  dengan ajaranku, maka mereka diberi pahala kerana mentaati mereka, sekiranya mereka memerintah kamu dengan perintah yang tidak sesuai dengan ajaranku, maka dosanya ditanggung oleh mereka dan kamu terselamat daripada dosa.”.
33. Dalam sebuah Hadith diriwayatkan oleh At Tabari yang bermaksud –
“Sekiranya kamu berada dibawah pemerintah-pemerintah yang menyuruh kamu mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan berjihad, maka haramlah ke atas kamu mencaci mereka dan halallah bagi kamu mengikut mereka.”.
34. Prinsip ketaatan kepada pemerintah ini sangat penting dalam Islam kerana kehidupan umat serta semua peraturan yang dibawa oleh Islam tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya pemerintah yang ditaati. Oleh sebab itulah mentaati ketua negara adalah sebahagian asas utama bagi Syariat Islam yang suci.
35. Berdasarkan prinsip ketaatan ini jugalah, perbuatan mencabar pemerintah yang sah sehingga membawa kepada perpecahan masyarakat yang boleh memecahkan perpaduan dan melemahkan umat adalah satu kesalahan yang dipandang berat oleh agama seperti mana yang dijelaskan di dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bermaksud –
“Sesiapa yang datang kepada kamu padahal kamu semua bersatu di bawah seorang pemerintah, ia ingin melakukan penderhakaan dan memecahkan perpaduan kamu, maka hendaklah ia dibunuh.”.
Kewajipan Dan Cara Menegur Pemerintah
36. Ketaatan kepada pemerintah tidak menghalang seseorang itu daripada memberi pandangan, nasihat dan teguran terhadap pemerintah, malah ianya adalah salah satu perkara yang dituntut di dalam Islam.
37. Walau bagaimanapun Islam mengajar kita supaya apabila hendak menasihati pemerintah mestilah dilakukan mengikut kaedah dan peraturan yang ditetapkan oleh hukum Syarak seperti tidak menegur atau menasihat pemerintah secara terang-terangan kerana ianya boleh mengaibkan pemerintah, sebaliknya teguran itu hendaklah dilakukan secara berhikmah dan mengikut saluran yang dibenar oleh Syarak dan undang-undang.
38. Imam Al-Ghazali membahagikan kewajipan amar maaruf kepada lima peringkat:
i) Memberitahu (taarif).
ii) Menasihati dengan kata-kata yang lembut.
iii) Menggunakan kata-kata yang keras.
iv) Mencegah dengan kekuatan.
v) Menggunakan cara ugutan.
39. Pandangan Imam Al-Ghazali di atas bersandarkan kepada sebuah Hadith yang diriwayat oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim yang bermaksud:-
“Sesiapa yang ingin menasihati pihak yang berkuasa mengenai sesuatu perkara, maka janganlah ia menyampaikan secara terang-terangan, tetapi hendaklah ia memegang tangannya dan menyampaikan nasihatnya secara bersendirian. Sekiranya nasihat itu diterima maka itulah yang baik, tetapi sekiranya tidak diterima, maka ia (pemberi nasihat) dikira telah melaksanakan tangungjawabnya.”.
40. Kesimpulannya dapat difahami bahawa ciri-ciri negara Islam ialah Amar Maaruf Nahi Mungkar memelihara Maqasid Syariah yang telah ditetapkan oleh hukum Syarak, oleh itu menjadi kewajipan kepada kita untuk mentaati pemerintah selagi mana pemerintah tersebut menjalankan tanggungjawab menjaga kesucian Islam dan menegakkan syiarnya.
Sekian, terima kasih.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan